Beberapa hari belakangan, pemberitaan tentang pembobolan rekening salah satu nasabah BCA oleh seorang tukang becak telah menjadi perbincangan hangat. Kejadian ini menyoroti kerentanan sistem layanan perbankan di Indonesia, meskipun dilindungi dengan SOP pengamanan yang ketat. Ironisnya, kendati ada prosedur keamanan yang seharusnya mencegah hal tersebut, dana nasabah masih dengan mudahnya bisa dibobol oleh pelaku kejahatan.
Kasus serupa juga terjadi secara online, seperti yang dialami nasabah BRI akibat praktik phishing yang banyak terjadi. Modus operandi para pelaku kejahatan ini menyebabkan kekhawatiran bagi masyarakat pengguna jasa perbankan.
Pertanyaan muncul mengenai tanggung jawab perbankan dalam mengamankan dana nasabah, terutama dalam konteks akad wadi’ah yadud dhamanah. Menurut perspektif ekonomi syariah, perbankan bertanggung jawab sebagai penerima (qabidh) terhadap dana nasabah (maqbudh). Hal ini sejalan dengan prinsip qabdhu dhamman yang menegaskan bahwa penerimaan dengan kesanggupan mengganti rugi lebih kuat daripada penerimaan amanah.
Ganti rugi merupakan kewajiban untuk mengembalikan dana atau hak korban akibat ulah pelaku kejahatan. Dalam Islam, konsep ini menekankan pertanggungjawaban atas setiap kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain. Kerugian harus diimbangi dengan ganti rugi yang bersifat material.
Meskipun demikian, hingga saat ini, nasabah yang menjadi korban pembobolan rekening tidak selalu mendapatkan pengembalian dana yang hilang. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai tanggung jawab perbankan terhadap dana yang dititipkan oleh nasabahnya. Diperlukan kajian mendalam dan tindakan yang tepat untuk memastikan keamanan dan perlindungan dana nasabah dalam layanan perbankan di masa mendatang.