Peternakan merupakan sektor usaha yang banyak diminati setelah pertanian dan perkebunan. Banyak lembaga pembiayaan syariah seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang berupaya memberikan akses modal kepada para peternak. Namun, tantangannya adalah bagaimana menjalin kerjasama dengan peternak sambil tetap mematuhi prinsip-prinsip usaha syariah.
Rancangan dasar bisnis dalam akad qiradh peternakan melibatkan Lembaga Pembiayaan Syariah (LKS) atau BMT sebagai pihak yang menyediakan akses modal. Dalam akad ini, modal diberikan kepada peternak untuk dikelola dengan prinsip bagi hasil (profit sharing) melalui akad qiradh atau mudharabah.
Fasilitas kandang dan peralatan pemeliharaan seperti pemanas, penerangan, listrik, serta sarana lainnya umumnya dimiliki oleh peternak. Namun, dalam konteks qiradh, fasilitas tersebut disewakan oleh LKS sebagai pemodal. Seluruh alat dan prasarana tersebut menjadi tanggung jawab pemodal seperti dalam akad musaqah.
Biaya sewa tempat usaha tidak dihitung sebagai modal yang diberikan oleh LKS, sehingga tidak termasuk dalam perhitungan bagi hasil. Kesepakatan bagi hasil yang jelas merupakan syarat sah dalam akad mudharabah atau qiradh.
Penanganan hasil panen juga penting dalam akad qiradh peternakan. Kesepakatan mengenai durasi pemanenan, penjualan produk, dan penghitungan bagi hasil bisa didasarkan pada adat, kesepakatan antar pihak, atau kesepakatan ‘urf.
Secara keseluruhan, akad qiradh dalam peternakan merupakan kontrak permodalan yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Dalam akad ini, modal berasal dari LKS, fasilitas usaha disediakan oleh LKS, ‘amil bertanggung jawab menjalankan modal dengan sungguh-sungguh, dan nisbah bagi hasil diketahui oleh ‘amil sejak awal akad.