Dalam praktik keagamaan, seringkali kita ditemui dengan fenomena menyelam sambil minum air, sebuah metafora yang menggambarkan melakukan ibadah dengan tujuan atau motivasi tertentu. Misalnya, mandi wajib atau mandi junub dilakukan tidak hanya untuk membersihkan diri tetapi juga untuk mendapatkan kesegaran badan, atau puasa Ramadhan dilakukan bukan hanya sebagai kewajiban agama tetapi juga sebagai upaya diet dan penurunan berat badan. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibadah seperti shalat juga memiliki manfaat kesehatan yang signifikan.
Menurut pandangan para ulama, tindakan seperti ini dapat dikategorikan sebagai tasyrik, yaitu mencampuradukkan ibadah dengan motivasi dunia yang diperbolehkan. Meskipun demikian, ibadah yang dilakukan tetap dianggap sah meskipun dilakukan dengan tujuan duniawi, karena akibat dari ibadah tersebut tetap terjadi baik disadari atau tidak.
Dalam konteks mendapatkan pahala dari ibadah yang dilakukan, terdapat tiga pendapat yang disampaikan dalam kitab Fathul ‘Allam karya Sayyid Muhammad Abdullah Al Jurdani:
- Pendapat pertama dari Imam Izzuddin bin Abdissalam menyatakan bahwa tidak ada pahala yang diperoleh dari ibadah dengan motivasi dunia. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang menjadi tujuannya dalam beribadah.
- Pendapat kedua dari Imam Al-Ghazali dan Imam Ar-Ramli menekankan pentingnya melihat dominasi motivasi di balik ibadah. Jika motivasi dunia lebih dominan, maka pahala tidak akan diperoleh. Namun, jika niat ibadah lebih kuat, maka pahala akan sesuai dengan kadar niat tersebut. Jika kedua motivasi seimbang, maka tidak akan ada pahala.
- Pendapat terakhir dari Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa selama terdapat niat ibadah, seseorang akan mendapatkan pahala sesuai dengan kekuatan niatnya, baik niat ibadah yang lebih dominan maupun motivasi dunia yang lebih kuat. Hal ini sejalan dengan ayat yang menyatakan bahwa setiap kebaikan yang dilakukan akan mendapatkan balasannya.
Perbedaan pendapat di atas berlaku selama motivasi dunia tidak diwarnai oleh riya, ujub, atau motif-motif negatif lainnya. Jika hal-hal tersebut muncul dalam ibadah seseorang, maka pahala tidak akan diperoleh meskipun unsur ibadah lebih mendominasi. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam hadits qudsi yang menyatakan bahwa Allah tidak membutuhkan sekutu dalam ibadah seseorang.