- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Hukum Muraja’ah Al-Qur’an Bagi Wanita Haidh: Perspektif Mazhab Syafi’i dan Maliki

Google Search Widget

Kewajiban besar yang harus diemban oleh para penghafal Al-Qur’an adalah menjaga hafalan mereka agar tetap lestari. Namun, bagi para wanita penghafal Al-Qur’an (hafizhah) yang sedang haidh, muncul kekhawatiran terkait membaca Al-Qur’an. Sebagian ulama dari mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita haidh tidak boleh membaca Al-Qur’an sama sekali, sementara pendapat lain memperbolehkannya. Di sisi lain, mazhab Maliki cenderung memperbolehkan wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an tanpa larangan.

Imam Nawawi, dalam kitabnya, menyoroti perbedaan pandangan ini. Ia lebih cenderung untuk wanita haidh membaca Al-Qur’an dalam hati atau dengan suara pelan agar tidak dianggap sebagai membaca secara langsung. Argumentasi yang digunakan adalah khawatir terhadap lupa terhadap bacaan Al-Qur’an, namun beberapa ulama menolak pandangan ini dengan alasan masa haidh yang biasanya tidak terlalu lama.

Di satu sisi, mazhab Malikiyah memperbolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an tanpa batasan tertentu, baik khawatir lupa hafalan atau tidak. Perspektif ini didukung oleh Imam ad-Dasuki dalam kitabnya.

Dalam konteks ini, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait hukum muraja’ah Al-Qur’an bagi wanita haidh. Sementara mazhab Syafi’i memberikan opsi membaca dalam hati, mazhab Maliki cenderung memperbolehkannya secara langsung. Untuk menghindari perbedaan pendapat ulama, sebaiknya mengikuti opsi yang menawarkan cara membaca Al-Qur’an dalam hati atau dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh telinga, sesuai dengan pandangan Imam Nawawi dan Syekh Khatib asy-Syarbini.

Sebaiknya, dalam menjalankan ibadah membaca Al-Qur’an, khususnya bagi wanita haidh, perlu memahami dan mengikuti pandangan ulama secara bijak. Allah lebih mengetahui lagi tentang segala hal.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?