Kewajiban besar yang harus diemban oleh para penghafal Al-Qur’an adalah menjaga hafalan mereka agar tetap lestari. Namun, bagi para wanita penghafal Al-Qur’an (hafizhah) yang sedang haidh, muncul kekhawatiran terkait membaca Al-Qur’an. Sebagian ulama dari mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita haidh tidak boleh membaca Al-Qur’an sama sekali, sementara pendapat lain memperbolehkannya. Di sisi lain, mazhab Maliki cenderung memperbolehkan wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an tanpa larangan.
Imam Nawawi, dalam kitabnya, menyoroti perbedaan pandangan ini. Ia lebih cenderung untuk wanita haidh membaca Al-Qur’an dalam hati atau dengan suara pelan agar tidak dianggap sebagai membaca secara langsung. Argumentasi yang digunakan adalah khawatir terhadap lupa terhadap bacaan Al-Qur’an, namun beberapa ulama menolak pandangan ini dengan alasan masa haidh yang biasanya tidak terlalu lama.
Di satu sisi, mazhab Malikiyah memperbolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an tanpa batasan tertentu, baik khawatir lupa hafalan atau tidak. Perspektif ini didukung oleh Imam ad-Dasuki dalam kitabnya.
Dalam konteks ini, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait hukum muraja’ah Al-Qur’an bagi wanita haidh. Sementara mazhab Syafi’i memberikan opsi membaca dalam hati, mazhab Maliki cenderung memperbolehkannya secara langsung. Untuk menghindari perbedaan pendapat ulama, sebaiknya mengikuti opsi yang menawarkan cara membaca Al-Qur’an dalam hati atau dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh telinga, sesuai dengan pandangan Imam Nawawi dan Syekh Khatib asy-Syarbini.
Sebaiknya, dalam menjalankan ibadah membaca Al-Qur’an, khususnya bagi wanita haidh, perlu memahami dan mengikuti pandangan ulama secara bijak. Allah lebih mengetahui lagi tentang segala hal.