Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keragaman suku, budaya, agama, dan bahasa, telah mewujudkan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk toleransi antarperbedaan. Salah satu bentuk toleransi yang penting adalah toleransi antarumat beragama.
Dalam konteks ini, perayaan hari raya agama lain seringkali menjadi momen yang menarik perhatian. Sebagai contoh, perayaan Natal sering dijadikan momentum untuk berbagi kebahagiaan antarsesama. Umat Kristiani dengan hangat mengundang tetangga muslim untuk turut serta merayakan Natal di rumah mereka.
Di beberapa daerah di Indonesia, seperti Maluku dan Papua, terdapat kebiasaan mengundang tokoh Islam untuk hadir dalam perayaan Natal. Sikap hormat dan penerimaan terhadap tamu muslim menjadi bagian dari suasana toleransi yang kental. Hal ini juga terjadi di Jawa, di mana umat Kristiani secara terbuka mengundang tokoh muslim untuk merayakan Natal bersama.
Namun, dalam keterlibatan umat muslim dalam perayaan hari raya agama lain, seperti Natal, terdapat pandangan yang perlu diperhatikan. Menurut keputusan Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura ke-37, menghadiri perayaan hari raya agama lain yang bersifat ibadah tidak diperbolehkan karena dianggap sebagai tindakan yang melibatkan diri dalam kemungkaran.
Namun demikian, ada pengecualian dalam hal ini. Ketika kehadiran dalam perayaan tersebut dianggap membawa maslahat yang lebih besar daripada menolak undangan, maka hal tersebut dapat diperbolehkan.
Keputusan ini didasarkan pada rujukan Al-Adabus Syar’iyah, Al-‘Alaqatul Ijtima’iyah bainal Muslimin wa Ghairil Muslimin, dan Bariqah Mahmudiyah. Diskusi yang berlangsung melibatkan sejumlah tokoh agama dan pemikir Islam yang berkompeten.
Dalam konteks ini, penting bagi umat muslim untuk memahami hukum dan panduan yang berlaku terkait partisipasi dalam perayaan hari raya agama lain. Dengan pemahaman yang tepat, diharapkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia dapat terus terjaga tanpa melanggar prinsip-prinsip ajaran agama yang dianut.