Hacking dan doxing, dua tindakan yang menjadi sorotan dalam dunia digital saat ini, memberikan dampak serius terhadap privasi dan keamanan data pribadi seseorang.
Hacking, yang merupakan tindakan meretas sistem keamanan untuk memperoleh informasi pribadi tanpa izin, sering kali diikuti dengan ancaman dan pemerasan terhadap korban. Di sisi lain, doxing merupakan praktik menyebarkan informasi pribadi korban secara luas dengan tujuan melakukan perundungan atau bullying.
Kedua tindakan ini seolah menjadi dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Pelaku hacking dan doxing seringkali menggunakan data yang diperolehnya untuk menakuti dan mempermalukan korban di ranah digital. Modus operandi kedua kejahatan ini menyerupai aksi perampok jalanan yang mengancam dan mengintimidasi.
Menurut perspektif hukum, tindakan hacking dan doxing dapat dibandingkan dengan perilaku perampok jalanan berdasarkan konsep qutha’u al-thariq. Ada empat tipe perampok berdasarkan tingkat kekerasan dan pencurian yang dilakukan. Tipe ketiga dan keempat, yang melibatkan ancaman dan intimidasi tanpa pencurian harta, mirip dengan tindakan hacking dan doxing.
Dalam konteks hukum Islam, pelaku hacking dan doxing dapat dikenai sanksi diyat (denda) berdasarkan kerugian yang ditimbulkan. Diyat untuk tangan senilai Rp445.950.000 dan kaki senilai Rp445.950.000 bisa diterapkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan tersebut. Jika terdapat pencurian harta, hukuman lebih lanjut seperti penjara juga bisa diterapkan.
Kesimpulannya, hacking dan doxing adalah bentuk perilaku perampokan digital modern yang harus ditindak dengan serius. Mendukung tindakan ini sama saja dengan mendukung kejahatan di dunia nyata. Perlindungan terhadap privasi dan keamanan data pribadi harus menjadi prioritas dalam menghadapi ancaman cyber crime seperti hacking dan doxing.