Dalam sejarah pengelolaan tanah di Indonesia, landreform pasca UUPA 1960 menjadi topik yang tidak pernah kehilangan relevansinya hingga saat ini. Dengan janji penyerahan hak pemerataan tanah oleh negara kepada rakyatnya, melalui kebijakan landreform tersebut, diharapkan tanah eigendom (tanah hak milik) dapat benar-benar menjadi milik rakyat. Namun, realitas di lapangan menunjukkan dampak yang berbeda.
Kawasan hutan, yang seharusnya menjadi obyek pembukaan lahan bagi rakyat, belum mengalami peningkatan dalam hal pemanfaatannya. Meskipun ada transformasi menjadi perkebunan, namun manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh perusahaan swasta dan pertambangan. Hal ini membuat rakyat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari landreform, justru terpinggirkan dan hanya menjadi kelas pekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.
Kasus perkebunan sawit di beberapa wilayah Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana rakyat yang semula bekerja di sana, akhirnya harus membuka lahan perkebunan sendiri di sekitar kawasan konsesi. Hal ini menimbulkan konflik terkait penguasaan tanah dan bahkan merambah ke kawasan konservasi. Masyarakat yang membangun pemukiman di sana, meskipun telah berlangsung lama, masih belum mendapatkan sertifikat hak milik karena dianggap menyerobot kawasan hutan.
Masyarakat yang terlibat dalam kasus seperti ini seolah berada dalam dilema antara mempertahankan hak mereka sendiri atau menunggu kebijakan landreform yang tidak kunjung terealisasi. Dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi agar dapat mengambil hak secara paksa, masyarakat perambah hutan tampaknya telah memenuhi kriteria yang diperlukan.
Keberadaan fasilitas umum yang telah dibangun oleh masyarakat di kawasan tersebut juga menjadi pertanda bahwa penyerobotan yang dilakukan memiliki dukungan tidak langsung dari aparat setempat. Mereka dibiarkan untuk terus berkembang tanpa tindakan preventif yang signifikan.
Dalam konteks ini, evaluasi terhadap kebijakan landreform pasca UUPA 1960 menjadi sangat penting. Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih dalam hal pemberian hak atas tanah kepada rakyatnya agar mereka tidak terpaksa mengambil langkah sendiri dengan risiko konflik dan ketidakpastian hukum. Sebuah penyelesaian yang adil dan berkelanjutan diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pengembangan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.