Dalam ajaran Islam, tanah dipandang sebagai pemberian Allah SWT kepada manusia sebagai tempat yang sangat penting. Tanah merupakan fondasi utama bagi terjadinya proses produksi. Sebelum adanya konsep negara dan wilayah kekuasaan, setiap individu memiliki hak untuk membuka lahan dan menguasainya. Hal ini diakui dalam sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa tanah adalah milik Allah dan siapa pun yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah tersebut menjadi haknya.
Dalam beberapa hadits lainnya, disebutkan bahwa hak dasar atas tanah adalah milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian menjadi milik umat Islam. Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka berhak untuk memanfaatkannya. Hal ini ditegaskan oleh para Imam Madzhab bahwa siapa pun yang menghidupkan tanah yang mati, maka berhak untuk menguasainya.
Konsep dasar yang diyakini secara ijma’ oleh para ulama adalah bahwa tanah yang disebut sebagai mati adalah tanah yang belum dimiliki oleh siapapun sebelumnya. Oleh karena itu, orang yang membuka dan menghidupkan tanah tersebut berhak atas tanah tersebut. Penyimpulan dari hal ini adalah bahwa menghidupkan tanah yang mati setara dengan memiliki tanah tersebut.
Tidak ada penentangan dari ulama terhadap konsep dasar ini, sehingga status ijma’ ini dianggap legal dan menjadi landasan bagi perkembangan konsep kepemilikan tanah ketika wilayah kekuasaan mulai terbentuk.