Haji mabrur selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan saat musim haji tiba. Hal ini tidak terlepas dari penyebutan dalam hadits Nabi Muhammad saw. Di berbagai kesempatan, seperti khutbah Jumat, khutbah di Arafah, dan taushiyah pada kegiatan walimatus safar, haji mabrur sering menjadi sorotan.

Dalam hadits Nabi Muhammad saw, haji mabrur dijelaskan sebagai ibadah haji yang dilakukan tanpa adanya unsur maksiat. Bahkan, dalam pelaksanaannya, haji mabrur juga mencakup berbagi rezeki dengan memberikan makanan kepada orang lain dan menjaga ucapan agar senantiasa baik.

Konsep haji mabrur juga ditegaskan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. Dalam hadits tersebut, disebutkan bahwa jamaah haji yang menjauhi larangan-larangan haji baik yang berat maupun yang ringan akan mendapatkan ganjaran sebagai bentuk haji mabrur.

Rasulullah saw juga menjanjikan surga bagi jamaah haji mabrur. Beliau juga menegaskan tanda-tanda dari haji mabrur, di antaranya adalah memberikan makan kepada orang lain dan berbicara dengan kata-kata yang baik.

Menurut Abu Amr Al-Qurthubi, haji mabrur adalah haji yang dilakukan tanpa menyertakan niat palsu (riya), mendengarkan perkataan negatif (sum’ah), melakukan kalimat kotor di hadapan perempuan (rafats), atau melakukan hubungan badan suami-istri (fasik). Selain itu, haji mabrur juga harus dibiayai dengan harta yang halal.

Haji mabrur dipandang sebagai ibadah ketaatan yang diterima oleh Allah. Ia tidak mengandung dosa dalam pelaksanaannya. Beberapa ulama juga mengartikan haji mabrur sebagai pelaksanaan manasik yang terbebas dari jinayah, kejahatan berat yang mengandung dosa besar.

Dengan memahami konsep haji mabrur secara mendalam, kita diharapkan dapat melaksanakan ibadah haji dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Semoga kita semua termasuk dalam golongan jamaah haji yang mendapatkan keberkahan dan ampunan dari Allah SWT.