Seringkali kita menemukan makanan tergeletak di jalan dan muncul pertanyaan tentang kehalalannya untuk diambil. Bagaimana seharusnya kita bersikap dalam situasi seperti ini?
Menurut kutub at-turats, makanan yang ditemukan di tempat umum seperti jalan raya dianggap sebagai barang temuan atau luqathah. Para ulama mazhab Syafi’i memberikan dua opsi bagi penemu makanan tersebut. Pertama, penemu bisa mengonsumsi makanan itu dan mengganti nilainya ketika pemiliknya diketahui. Kedua, penemu dapat menjual makanan tersebut dan menyimpan uangnya untuk pemilik makanan yang sebenarnya.
Dari dua opsi tersebut, bisa dipahami bahwa memberikan makanan temuan kepada orang yang membutuhkan diperbolehkan karena termasuk dalam opsi pertama, yaitu mengonsumsi makanan tersebut dengan niat memberikannya kepada orang lain.
Apakah wajib bagi penemu makanan untuk mencari pemiliknya atau mengumumkan kepada publik? Tergantung pada jenis makanan yang ditemukan. Jika makanan tersebut dianggap remeh-temeh dan kemungkinan pemiliknya tidak akan mencarinya, maka tidak wajib untuk mencari atau mengumumkannya. Namun, jika makanan tersebut bernilai dan kemungkinan pemiliknya akan mencarinya, maka penemu wajib untuk mengumumkan temuannya.
Mengumumkan penemuan makanan bernilai dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memberitahu orang di sekitar atau menempelkan pemberitahuan di tempat tersebut.
Dengan demikian, makanan yang ditemukan di jalan raya atau tempat umum lainnya berstatus luqathah dan hanya boleh dikonsumsi atau diberikan kepada orang lain dengan syarat penemu mengganti nilainya ketika pemiliknya ditemukan. Jika pemilik tidak mencari makanan tersebut karena bersifat remeh-temeh, penemu bisa memilikinya tanpa perlu mengumumkan penemuannya.
Namun, jika pemilik menagihnya, penemu wajib mengembalikan atau mengganti dengan nilai makanan tersebut. Hal ini berbeda jika makanan ditemukan di tempat milik pribadi, di mana penemu wajib mengembalikan atau memberitahu kepada pemilik tempat tersebut.