Dalam konteks hukum fikih, konsep halal bihalal mengandung pesan mendalam yang melampaui sekadar keringanan dosa. Halal, yang merupakan lawan kata dari haram, menjadi simbol pembebasan dari dosa bagi individu yang melibatkan diri dalam praktik halal bihalal.
Menurut perspektif hukum fikih, halal bihalal menjadikan sikap yang sebelumnya terlarang atau berdosa menjadi halal atau bebas dari dosa. Namun, hal ini hanya dapat terwujud jika pelaku halal bihalal memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, seperti saling memaafkan dengan tulus.
Selain itu, dalam tinjauan hukum fikih, istilah halal juga mencakup apa yang dikenal sebagai makruh. Pertanyaan pun muncul mengenai apakah hubungan yang dijalin dalam halal bihalal dapat dianggap halal, meskipun terdapat unsur-unsur makruh di dalamnya.
Selain dari aspek hukum fikih, penting pula untuk memahami konsep halal bihalal dari segi bahasa atau linguistik. Kata “halal” memiliki akar kata “halla” atau “halala” yang memiliki makna menyelesaikan masalah, meluruskan keadaan rumit, atau meleburkan ketegangan. Dalam konteks ini, halal bihalal menjadi sarana untuk menyambung kembali hubungan yang terputus dan merajut kembali tali silaturahmi.
Terakhir, dalam perspektif Qur’ani, halal yang dikehendaki adalah halal yang thayyib, atau baik dan menyenangkan. Al-Qur’an mendorong umat Muslim untuk melakukan setiap aktivitas dengan kebaikan dan kesenangan bagi semua pihak terkait.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa halal bihalal mendorong pelaku untuk merajut kembali hubungan yang terputus, menciptakan harmoni dari konflik, dan terus berbuat baik secara berkelanjutan. Lebih dari sekadar tradisi keagamaan, halal bihalal merupakan wujud dari nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan sebuah tradisi positif yang memperkuat persatuan bangsa dan negara.