Slogan “Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah” sering terdengar manis di telinga, namun seringkali terasa pahit saat dipahami lebih dalam. Meskipun bukan hal baru, slogan ini tetap menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam dewasa ini. Banyak yang menyemangati untuk hanya mengikuti Al-Qur’an dan sunnah, tanpa merujuk pada pemahaman ulama yang dianggap berpotensi salah.
Dalam konteks ini, beberapa kelompok dijuluki sebagai al-Lâmadzhabiyyah (kelompok anti-mazhab) karena menolak untuk mengikuti pendapat ulama dalam memahami syari’at Islam. Mereka meyakini bahwa cukup berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah tanpa perlu mengikuti mazhab tertentu. Namun, hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian ulama seperti al-Buthi.
Al-Buthi menegaskan bahwa menolak untuk mengikuti mazhab tidak bisa digeneralisasi. Hanya orang yang telah mencapai level mujtahid yang diperbolehkan untuk berijtihad secara independen. Bagi yang belum mencapai taraf tersebut, mereka diwajibkan untuk bertaklid dan mengikuti pendapat ulama.
Syarat menjadi mujtahid menurut Syekh Muhammad Musthafa az-Zuhaili meliputi pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum amaliyyah dan hadits-hadits yang terkait dengan hukum Islam. Kedua syarat ini saja sudah sangat sulit untuk dipenuhi, apalagi bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang memadai.
Bagi umat Islam awam, memahami agama langsung dari Al-Qur’an dan sunnah tanpa bimbingan ulama seperti memakan buah duren tanpa pisau untuk mengupasnya. Dalam konteks ini, penting untuk mengakui bahwa memahami agama butuh kepakaran dan pengetahuan yang mendalam.
Dengan demikian, dalam perjalanan beragama, semangat yang membara perlu disertai dengan upaya memperdalam ilmu agama melalui rujukan pada Al-Qur’an, sunnah, dan juga pemahaman ulama yang memiliki kualifikasi yang tepat. Hal ini akan membantu umat Islam untuk tidak tersesat dalam kerumitan pemahaman agama.