Dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan bulan Syawal untuk memulai dan mengakhiri puasa, mayoritas ulama mengacu pada metode rukyat. Metode ini melibatkan pengamatan langsung dengan mata kepala untuk melihat hilal baru, bukan penghitungan ilmiah.
Jika pengamatan langsung tidak memungkinkan karena tertutup awan, maka bulan Sya’ban atau Ramadhan akan digenapkan menjadi 30 hari. Dasar hukum utamanya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. dan Ibnu Umar ra., di mana Nabi shallallahu alaihi wa sallam menekankan pentingnya melihat hilal sebagai penanda awal bulan puasa.
Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait interpretasi hadits tersebut. Sebagian ulama, seperti Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij, mencoba mengkompromikan dua riwayat hadits dengan pendekatan multidimensi. Mereka berpendapat bahwa bagi mereka yang memiliki pengetahuan hisab (perhitungan), dapat menggunakan metode perhitungan sebagai alternatif jika pengamatan langsung tidak memungkinkan.
Di sisi lain, Imam Taqyuddin al-Subki menegaskan bahwa kesaksian penglihatan langsung lebih diutamakan daripada perhitungan hisab. Menurutnya, hisab bersifat pasti sedangkan rukyat bersifat dugaan. Namun, dalam konteks perkembangan ilmu astronomi modern yang sangat maju saat ini, keakuratan perhitungan astronomi telah menjadi sangat meyakinkan.
Seiring dengan kemajuan ilmu astronomi modern yang akurat, kegunaan rukyat sebagai metode penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal menjadi dipertanyakan. Pendapat Imam al-Subki ini dianggap sebagai jalan tengah yang bisa menjadi titik tengah antara pendukung rukyat dan hisab.
Pendekatan ini juga dapat membantu pemerintah dalam mengambil keputusan terkait penentuan awal bulan puasa tanpa perlu biaya besar untuk pemantauan hilal. Hal ini terutama relevan ketika para ahli hisab dan astronomi sepakat bahwa hilal tidak mungkin terlihat melalui pengamatan langsung.