Penerapan hukum atau fatwa seringkali mengalami perbedaan dan perubahan yang disebabkan oleh tashawwur atas obyek yang diteliti. Perbedaan pengetahuan hasil ijtihad atas obyek dapat terjadi akibat dua hal utama. Pertama, perbedaan perangkat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan, meskipun obyek yang diteliti tetap sama. Kedua, hasil ijtihad tahqiqul manath juga turut memengaruhi perbedaan fatwa yang dikeluarkan.
Salah satu contoh perubahan fatwa yang perlu disorot adalah mengenai hukum binatang belut. Perbedaan dalam fatwa mengenai belut berasal dari hasil ijtihad tahqiqul manath yang didasarkan pada pengetahuan inderawi. Ketika konsep “hidup di dua alam” diperhatikan, maka muncul perbedaan fatwa berdasarkan tashawwur atas hakekat belut dan pola hidupnya. Penelitian yang paling lengkap, akurat, dan teliti menjadi penentu dalam menentukan fatwa yang benar.
Selain itu, masalah pakaian thailasan juga mengalami perubahan fatwa seiring dengan perkembangan zaman. Thailasan, yang pada awalnya dianggap sebagai pakaian khas komunitas Yahudi dan dihukumi makruh, kini telah berubah menjadi boleh karena tidak lagi memiliki konotasi negatif. Hal ini menunjukkan bagaimana tashawwur dan pemahaman atas suatu obyek dapat berubah seiring dengan waktu.
Masalah da’āwī kādzibah juga menjadi contoh lain perubahan fatwa yang harus diperhatikan. Pengakuan yang mengandung perkara mustahil pada zaman tertentu dapat berubah menjadi mungkin pada zaman selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa konteks waktu dan kebiasaan masyarakat dapat memengaruhi penilaian terhadap suatu perkara.
Dalam menyikapi perubahan fatwa, penting untuk memperhatikan tashawwur dan tahqiqul manath yang menjadi dasar dari ijtihad. Kelengkapan, akurasi, dan ketelitian dalam mengumpulkan data tentang suatu obyek menjadi kunci dalam menentukan keabsahan sebuah fatwa. Perubahan fatwa bukanlah sesuatu yang tabu, namun merupakan respons yang bijak terhadap dinamika pengetahuan dan pemahaman yang terus berkembang.