Di tengah polemik pembangunan tambang dan waduk di Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, muncul pertanyaan seputar urgensi proyek tersebut dalam kaidah fiqih. Warga setempat merasa terancam dengan rencana pembangunan yang akan mengubah lingkungan hidup mereka menjadi tambang andesit untuk mendukung pembangunan waduk Bener.
Keberatan warga terutama terkait potensi kerusakan lingkungan dan sumber air yang vital bagi kehidupan mereka. Meski pemerintah memiliki niat baik untuk memajukan daerah melalui proyek ini, namun ada pihak yang akan dirugikan, terutama warga yang merasa tertindas.
Dalam konteks kaidah fiqih, prinsip bahwa “bahaya harus dihilangkan” menjadi landasan bagi pertimbangan tindakan yang akan diambil. Namun, dalam hal ini, apakah pembangunan tambang dan waduk sudah benar-benar mendesak?
Menarik untuk merujuk pada lima kondisi pertimbangan sebelum bertindak menurut Syekh Yasin Isa Al-Fadani. Darurat, hajat, manfaat, zinah, dan fudhul menjadi pedoman dalam mengevaluasi urgensi suatu tindakan. Namun, apakah proyek ini memenuhi salah satu dari kondisi tersebut?
Dari penilaian tersebut, tampaknya pembangunan tambang dan waduk belum memenuhi syarat darurat atau hajat yang dapat melegitimasi tindakan tersebut. Lebih lanjut, jika proyek ini menimbulkan lebih banyak kerugian dibanding manfaatnya, maka menolak kerusakan seharusnya menjadi prioritas.
Sebagai masyarakat yang peduli lingkungan dan keadilan, penting bagi kita untuk meninjau ulang urgensi proyek ini. Apakah benar-benar diperlukan? Apakah dampak negatifnya dapat dihindari atau diminimalisir? Diskusi terbuka dan musyawarah mufakat antara pemerintah dan warga menjadi kunci dalam menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Kita semua berharap agar pembangunan dapat dilakukan tanpa merugikan pihak lain, sesuai dengan prinsip fiqih yang menempatkan penolakan terhadap kerusakan sebagai prioritas utama. Mari bersama-sama menjaga kehidupan di bumi ini dengan bijaksana dan bertanggung jawab.