Dalam menjelaskan konsep ijtihad tahqīqul manāth, Imam Al-Ghazali menggunakan silogisme kategoris yang dikenal dalam logika formal. Konsep ini diterapkan dalam dua proposisi utama, yaitu muqaddimah kulliyyah dan muqaddimah juz’iyyah. Muqaddimah kulliyyah didasarkan pada dalil-dalil syariat, sementara muqaddimah juziyyah hasil dari ijtihad Tahqiqul Manath atas obyek dengan menggunakan pengetahuan yang relevan.
Implikasi dari kedua proposisi ini adalah penarikan konklusi atau natīijah hukum. Jika penelitian terhadap obyek menunjukkan bahwa obyek tersebut memenuhi kriteria yang disepakati, maka hukum atau fatwa yang dikeluarkan akan jelas. Namun, jika tidak, konklusi tidak bisa diambil. Perbedaan hasil ijtihad terjadi akibat perbedaan pengetahuan atau perubahan obyek dari satu sifat ke sifat lain yang mempengaruhi hukum yang diberlakukan.
Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya merujuk pada kaedah-kaedah pengetahuan (nadhariyyah) dalam melakukan ijtihad tahqiqul manath. Obyek pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam lima macam nadhariyyah, seperti lughawiyyah (kebahasaan), ‘urfiyyah (adat kebiasaan), ‘aqliyyah (ilmu logika), ḥissiyyah (inderawi), dan ṭabī’iyyah (fisika).
Penting untuk mempertimbangkan keakuratan perangkat pengetahuan dan kemungkinan perubahan obyek dalam menarik natijah hukum. Ijtihad tahqiqul manath tidak selalu harus menghasilkan pengetahuan dengan kategori yaqīni; pengetahuan dhanni juga dapat digunakan asalkan sesuai dengan kaedah yang berlaku. Perbedaan hasil ijtihad antarindividu atau perubahan hasil ijtihad sebelumnya adalah hal yang lumrah terjadi.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip di atas, proses ijtihad tahqiqul manath dapat memberikan pemahaman yang mendalam dalam menentukan hukum-hukum syariat.