Dalam era kepengurusan PBNU 2022-2027 di bawah pimpinan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), terjadi semangat baru dengan melibatkan tokoh perempuan NU dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Meskipun menimbulkan perdebatan, langkah ini mencerminkan upaya Gus Yahya untuk menyegarkan kepengurusan PBNU menjelang 100 tahun NU.

Penentangan terhadap partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU muncul karena dianggap melanggar tradisi NU dan doktrin fiqih tentang ikhtilathur rijal wan nisa’. Namun, ijtihad para kiai pemimpin NU dalam mengakomodir kaum perempuan didasari oleh kebutuhan NU saat ini untuk menghargai peran mereka dalam jam’iyah NU.

Ada tiga landasan ushuliyah yang mendukung keikutsertaan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU. Pertama, landasan manhaj istishab yang menetapi hukum asal. Kedua, landasan istishlah atau maslahah mursalah yang mempertimbangkan manfaat dan mudharat bagi masyarakat. Ketiga, landasan ‘kebutuhan umum’ sebagai manhaj dan dalil syari’ah, yang memperhatikan tuntutan sosial dan tradisi.

Partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU adalah langkah positif untuk mengakui peran mereka dalam transformasi sosial dan budaya. Dengan berbagai pertimbangan manhaji, keputusan untuk melibatkan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU merupakan ijtihad yang perlu dihargai dan didukung. Melalui pendekatan manhajiyah Aswaja NU, langkah ini diharapkan dapat menghapus stigma negatif terhadap peran kaum perempuan dalam jamiyah NU.

Dalam menghadapi perdebatan seputar ijtihad ini, penting bagi warga NU untuk mendukung keputusan para kiai sebagai pemegang otoritas fiqih Ahlus Sunnah. Dengan kerendahan hati, apresiasi terhadap ijtihad para pemimpin jamiyah Nahdlatul Ulama adalah bagian dari kesetiaan kita sebagai santri. Kita percaya bahwa setiap keputusan diambil demi kemaslahatan NU dan seluruh warganya.