Orang sering kali memiliki asumsi bahwa amal atau ibadah terbaik adalah amal yang paling berat. Namun, sebaliknya, amal yang terlihat ringan dan sering diremehkan juga memiliki potensi menjadi amal terbaik.
Sebuah kisah tentang Al-Haula binti Tuwait, seorang perempuan suku Quraisy yang dikenal sebagai ahli ibadah di Madinah, menggambarkan hal ini. Meskipun baru masuk Islam setelah hijrah ke Madinah dan masih satu garis keluarga dengan Sayyidah Khadijah, Al-Haula menjadi sorotan sebagai sosok yang sangat giat dalam beribadah.
Ketika Al-Haula berkunjung ke rumah Sayyidah Aisyah, Nabi Muhammad saw datang dan Al-Haula langsung pergi. Aisyah kemudian menjelaskan kepada Nabi saw bahwa Al-Haula adalah orang yang paling giat beribadah di Madinah. Namun, Nabi saw merespons dengan tidak sepenuhnya setuju terhadap anggapan bahwa ibadah terbaik adalah yang paling berat.
Beliau mengatakan, “Tidak tidur? Lakukanlah amal ibadah semampu kalian. Demi Allah, Allah tidak akan pernah bosan memberi pahala sampai kalian sendiri yang bosan beribadah.”
Imam Thawus bin Kaisan, seorang tokoh besar ahli fiqih generasi tabiin, menegaskan bahwa ibadah terbaik adalah ibadah yang paling ringan. Ia mengatakan, “Ibadah terbaik adalah ibadah yang paling ringan.” Ibadah yang ringan dan disukai hati memiliki potensi untuk dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.
Maka dari itu, kita seharusnya tidak meremehkan amal sekecil atau se-ringan apapun. Baik itu amal ritual maupun sosial, karena amal-amal tersebut memiliki potensi untuk membawa dampak besar dalam perbaikan diri. Amal yang ringan dapat dilakukan secara konsisten sehingga membawa dampak positif yang signifikan bagi pelakunya.