Dalam dunia fiqih, perbedaan pendapat di antara para ulama seringkali muncul akibat dua hal utama: konsep hukum fiqih dan pengetahuan atas masalah yang dihukumi. Hal ini memengaruhi keberagaman fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama, bahkan di dalam satu mazhab sekalipun.

Perbedaan pertama berasal dari konsep hukum fiqih (kulliyyat) yang didasarkan pada interpretasi dalil-dalil syariat. Contohnya adalah perbedaan pendapat mengenai masalah bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa setelah waktu dhuhur; ada yang menganggapnya makruh dan ada pula yang tetap sunnah tanpa makruh. Begitu pula dengan perbedaan dalam niat keluar dari shalat saat salam pertama, ada yang menganggapnya wajib dan ada yang tidak.

Selain itu, perbedaan juga muncul dalam penetapan sebab, syarat, dan penghalang (wadl’iyyah) dalam hukum fiqih. Misalnya, perbedaan pendapat mengenai kebolehan tayammum akibat kekhawatiran tertundanya kesembuhan penyakit jika menggunakan air. Ada ulama yang memandang kekhawatiran tersebut sebagai alasan yang kuat untuk melakukan tayammum, namun ada pula yang tidak setuju.

Di sisi lain, perbedaan juga terjadi dalam pengetahuan atau pemahaman (tashawwur) atas masalah yang dihukumi. Sebagai contoh, perbedaan pendapat tentang apakah Pelabuhan Jeddah dapat dijadikan miqat bagi jamaah haji yang menggunakan kapal laut. Imam Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat bahwa ihram boleh ditunda hingga sampai di Pelabuhan Jeddah, sementara ulama lain memandang sebaliknya.

Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas dalam memahami hukum fiqih serta pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap masalah yang dihukumi. Dalam menyelesaikan perbedaan pendapat, dibutuhkan penelitian yang cermat dan penghitungan yang akurat atas fakta-fakta yang ada.

Dengan demikian, perbedaan pendapat dalam fiqih bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, namun merupakan bagian dari keragaman pemahaman dan interpretasi yang perlu disikapi dengan bijak dan ilmiah.