Bertamu dan memberi hidangan kepada tamu adalah salah satu ajaran luhur dalam Islam yang diyakini memberikan manfaat dan keberkahan bagi pelakunya. Namun, terkadang muncul permasalahan ketika seorang tamu sedang berpuasa sunah namun dihidangkan makanan oleh tuan rumah. Bagaimana seharusnya fiqih Islam menyikapi situasi ini?
Dalam kitab Fathul Mu’ȋn, Syekh Zainudin Al-Malibari menjelaskan bahwa disunahkan bagi seseorang yang sedang berpuasa sunah untuk membatalkan puasanya dan memakan hidangan yang disuguhkan oleh tuan rumah jika mempertahankan puasa akan memberatkan tuan rumah. Namun, jika mempertahankan puasa tidak memberatkan tuan rumah, maka lebih utama untuk tetap berpuasa.
Sikap yang sama juga berlaku jika sang tamu sedang berpuasa sunah. Namun, jika sang tamu sedang menjalani puasa wajib seperti puasa Ramadhan, ia dituntut untuk tetap mempertahankan puasanya.
Syekh Zainudin juga menekankan bahwa ketika sang tamu membatalkan puasanya demi memakan hidangan, ia tetap akan mendapatkan pahala atas puasanya yang telah dilakukan. Puasa yang dibatalkan dapat diganti di hari lain sebagai amalan sunah.
Dari riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah juga mengajarkan pentingnya untuk berbuka puasa saat bertamu jika hal itu akan menyenangkan tuan rumah yang telah bersusah payah menyiapkan hidangan.
Dengan demikian, untuk mencegah kekecewaan tuan rumah dan menjaga kesenangan bersama, lebih baik bagi sang tamu yang sedang berpuasa untuk memberitahu tuan rumah jika tidak perlu menyiapkan hidangan saat kedatangan. Dengan demikian, semua pihak dapat merasa senang dan ridlo tanpa adanya ketidaknyamanan.
Dengan pemahaman akan fiqih Islam dalam situasi bertamu dan berpuasa, diharapkan semua dapat menjalankan ajaran agama dengan penuh pengertian dan keberkahan.