Imam Malik ra, ulama besar yang hidup pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur, dikenal sebagai pakar fiqih dan hadits yang menghasilkan karya monumental, Kitab Al-Muwaththa. Permintaan Abu Ja’far Al-Manshur untuk membuat fiqih moderat tidak membuat Imam Malik terpaku pada penyeragaman fiqih.
Imam Malik menolak rencana Abu Ja’far Al-Manshur yang ingin memproduksi Kitab Al-Muwaththa secara massal sebagai referensi resmi fiqih negara. Bagi Imam Malik, keberagaman fiqih di masyarakat adalah sebuah kekayaan yang harus dijaga. Ia memahami bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki pandangan fiqihnya sendiri yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi geografis mereka.
Ketegasan Imam Malik dalam menolak penyeragaman fiqih negara merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan bermazhab masyarakat. Ia mengakui bahwa faktor lingkungan dan kebutuhan lokal sangat mempengaruhi cara beragama suatu komunitas. Dengan memberikan kebebasan pada masyarakat untuk memilih mazhabnya sendiri, Imam Malik memperjuangkan hak individu dalam menjalankan keyakinannya.
Keberagaman fiqih yang diterima Imam Malik sebagai suatu keniscayaan menjadikan pemikirannya relevan hingga saat ini. Penghargaan terhadap kebebasan bermazhab masyarakat merupakan salah satu warisan berharga yang ditinggalkan oleh Imam Malik ra bagi umat Islam. Semoga pemahaman ini dapat terus menginspirasi kita dalam menjaga pluralitas dan toleransi dalam beragama.