Kartel sering dijelaskan sebagai kesepakatan antara beberapa perusahaan terpisah untuk mengatur harga pasar melalui distribusi produk tanpa persaingan. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, namun malah menyebabkan monopoli harga, produk, dan jasa yang merugikan masyarakat.
Dalam perspektif fiqih mazhab, praktik kartel sering disebut sebagai idz’an, yaitu menerima keputusan pihak lain tanpa perlawanan. Hal ini mengakibatkan masyarakat terpaksa menerima harga yang ditetapkan oleh perusahaan yang terlibat dalam kartel.
Idealnya, pasar seharusnya terjadi persaingan sempurna yang dapat menciptakan fluktuasi harga dan variasi produk. Namun, dengan adanya kartel, masyarakat terbatas dalam pilihan produk dan harga yang tetap tinggi.
Contoh pada industri transportasi, promo-promo yang tidak relevan sering digunakan untuk menutupi penetapan harga yang telah disepakati dalam kartel. Akibatnya, masyarakat hanya memiliki sedikit pilihan dengan tarif yang sama.
Kartel mencegah masuknya produk dari pesaing ke pasar dan menjadikan masyarakat terbatas dalam pilihan. Ini merupakan dampak negatif dari ketiadaan persaingan yang menjadi ciri khas kartel.
Pola kartel seperti ini dapat dikaitkan dengan syirkah abdan dan syirkah mufawadlah dalam konteks akad syariah. Meskipun memiliki kesamaan dalam hal kerjasama bisnis, kartel cenderung melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Kartel sebenarnya adalah upaya untuk dominasi bisnis dengan mengontrol pasar dan konsumen. Mereka menciptakan hambatan bagi pesaing dan merugikan konsumen dengan keterbatasan pilihan.
Efek negatif dari kartel tidak boleh diabaikan, karena berdampak langsung pada konsumen yang tidak memiliki alternatif lain. Hal ini menunjukkan perlunya penegakan persaingan usaha yang sehat untuk melindungi kepentingan konsumen.