Pemerintah telah mengambil langkah cepat dalam penanganan hak tagih negara terhadap dana bantuan likuiditas Bank Indonesia melalui Satgas BLBI. Namun, upaya tersebut menuai sorotan dari berbagai pihak yang membandingkannya dengan perilaku koruptor yang merugikan negara.
Dalam konteks hukum Islam, utang dari para pelaku usaha yang menyatakan diri pailit tetap merupakan amanah yang harus dikembalikan kepada pihak kreditur sesuai jatuh tempo. Menunda pelunasan utang oleh yang mampu melunasinya dianggap sebagai bentuk kezaliman yang harus dihindari.
Kreditur disarankan memberikan relaksasi kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan, namun jika debitur dengan sengaja mengulur-ulur waktu pembayaran, pemerintah berhak memberikan sanksi berupa pendidikan moral. Sanksi dapat berupa penjara, penyitaan harta secara paksa, atau penahanan penyaluran harta.
Debitur yang muflis, yaitu memiliki total aset lebih kecil dari total kewajiban, berhak atas asetnya yang bisa disita untuk menutupi utang. Sanksi ta’dib berlaku selama debitur masih memiliki niat baik untuk melunasi utangnya.
Sementara itu, korupsi dalam hukum Islam dianggap sebagai tindakan pengaburan asal-usul harta kekayaan yang merugikan negara. Pelaku korupsi dapat dikenakan sanksi berupa penjara, denda, atau bahkan dikeluarkan dari tempat bisnis jika terbukti sebagai pelaku korupsi yang sudah menjadi kebiasaan.
Dalam penanganan pelaku korupsi, tujuan sanksi tidak hanya fokus pada pengembalian harta yang dikorupsi, tetapi juga pada pemulihan moral pelaku. Meskipun telah menjalani sanksi penjara, kewajiban mengembalikan harta yang dikorupsi tetap harus dipenuhi.
Hukum Islam menegaskan pentingnya keadilan dalam penyelesaian utang dan korupsi, serta memberikan panduan tentang sanksi yang harus diberikan kepada para pelaku tindakan melawan hukum ini.