Studi ushul fiqih memperkenalkan konsep obyek hukum sebagai perbuatan manusia mukallaf, bukan mukallaf itu sendiri, sifat-sifatnya, atau benda-benda lainnya. Sebagai contoh, babi bukanlah yang haram, tetapi tindakan memakan daging babi yang diharamkan. Begitu pula dengan ibu kandung dan ibu mertua yang bukanlah yang haram, melainkan pernikahan dengan mereka yang diharamkan.
Dalam kategori perbuatan mukallaf, terdapat dua jenis: “baik” (al-hasan) yang mencakup perbuatan yang diizinkan seperti wajib, mandub, dan mubah, serta “buruk” (al-qabih) yang termasuk perbuatan yang dilarang seperti haram.
Makruh, menurut al-Imam al-Haramain, berada di antara baik dan buruk. Perbuatan makruh tidak dapat disebut buruk karena pelakunya tidak dicela, namun juga tidak bisa disebut baik karena pelakunya tidak dipuji.
Dalam hal yang diharamkan, para ulama membaginya menjadi dua: haram pada dirinya sendiri karena mengandung mafsadat (kerusakan), contohnya adalah memakan daging babi; dan haram li ghairihi, yaitu sesuatu yang diharamkan karena faktor eksternal, bukan internal.
Sebagai ilustrasi, ulama fiqih membahas mengenai hukum bermain catur dan dadu. Bermain catur dianggap mubah karena melibatkan kekuatan pikiran, sedangkan bermain dadu yang spekulatif dianggap haram. Hal ini disebutkan dalam Kitab Hasyiyah al-Jamal.
Beberapa syarat dibolehkannya suatu permainan antara lain tidak merendahkan martabat manusia, tidak membahayakan, tidak mengganggu pelaksanaan kewajiban agama, tidak mengandung kebohongan, dan tidak bersifat perjudian.
Dipahami bahwa bermain game online sejatinya dianggap mubah. Akan tetapi, jika bermain game online menyebabkan seseorang lalai dalam menjalankan kewajiban agama atau terjerumus pada perbuatan yang diharamkan, maka hal tersebut dapat menjadi haram menurut sudut pandang tertentu.
Dalam konteks ini, pemahaman tentang konsep hukum dalam studi ushul fiqih menjadi penting untuk memandu tindakan sehari-hari sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.