Dalam lingkungan pengamal mazhab Syafi’i, konsep harta dikaji dengan prinsip bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan bukanlah harta. Hal ini disebabkan oleh faktor keharaman, sedikitnya barang, atau kotoran pada barang tersebut. Harta bagi seorang Muslim dalam fiqih Syafi’iyah harus bersifat halal, berharga, dan terhormat agar dapat dikelola dan dimanfaatkan secara syara’. Mazhab Hanafi, di sisi lain, memiliki pandangan berbeda terkait definisi harta. Mereka tidak mensyaratkan bahwa harta harus bisa dimanfaatkan.
Dalam mazhab Hanafi, harta lebih umum daripada barang berharga. Harta dapat disimpan meskipun terdiri dari barang yang tidak halal, seperti khamr. Sementara barang berharga harus bisa disimpan dan bersifat halal. Terdapat dua pengertian harta dalam mazhab Hanafi: Mutaqawwam (berharga) dan Ghairu Mutaqawwam (tidak berharga). Barang yang termasuk dalam kategori mutaqawwam harus bisa disimpan, bisa dimanfaatkan, dan bernilai harta. Sementara barang ghairu mutaqawwam juga bisa disimpan namun tidak bisa dimanfaatkan karena faktor haram atau kotor.
Selain itu, terdapat juga barang yang tidak pasti (tidak tsubut) dalam konsep harta. Barang ini bisa disimpan namun tidak bisa dimanfaatkan secara halal dan tidak bernilai harta. Dalam mazhab Hanafi, utang dipandang sebagai harta yang memiliki dua sisi berlawanan. Utang dianggap bukan harta sampai fisik dari harta yang diutang diterima oleh pihak yang berutang.
Pengklasifikasian ini memasukkan semua jenis barang, baik halal maupun haram, ke dalam definisi harta versi mazhab Hanafi. Meskipun demikian, harta halal dikelompokkan sebagai mutaqawwam (berharga) sedangkan harta haram sebagai ghairu mutaqawwam (tidak berharga). Harta yang tidak pasti juga termasuk dalam definisi harta karena bisa disimpan namun tidak dapat ditukar sebagai harta. Demikianlah konsep harta dalam perspektif fiqih Syafi’i dan Hanafi yang memiliki pandangan berbeda namun sama-sama penting dalam menentukan status suatu benda sebagai harta.