Dalam ajaran Islam, terdapat metode istidlal yang dikenal dengan nama “saddudz dzari’ah” yang menjadi penting dalam menetapkan hukum-hukum tertentu. Metode ini tidak lepas dari perdebatan di kalangan ulama, di mana terdapat dua pendapat yang kuat mengenai penggunaannya. Ada yang menyatakan bahwa metode saddudz dzari’ah layak digunakan sebagai dalil syariat yang kredibel, sementara pendapat lain menolak hal tersebut.

Pentingnya metode saddudz dzari’ah terletak pada kontribusinya dalam mengkaji dampak dari suatu tindakan atau media. Dalam konteks ini, jika suatu tindakan mubah berpotensi mengarah pada kebaikan, maka tindakan tersebut dianjurkan. Namun, jika tindakan tersebut berpotensi merugikan atau membahayakan, maka hukumnya menjadi haram.

Syekh Abdullah bin Yusuf al-Jadi’ mendefinisikan saddudz dzari’ah sebagai media yang dapat membawa pada kebaikan atau keharaman. Dalam hal ini, penting untuk memperhatikan dampak dari setiap tindakan yang dilakukan. Jika dampaknya positif, maka tindakan tersebut dianjurkan; namun jika dampaknya negatif, maka tindakan tersebut tidak diperbolehkan.

Dalam praktiknya, terdapat klasifikasi mengenai saddudz dzari’ah yang dilarang oleh ulama ushul fiqih. Misalnya, larangan mencaci-maki sesembahan non-muslim karena hal tersebut dapat menimbulkan celaan kepada Allah. Selain itu, terdapat pula pembagian hukum berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan. Ada tindakan yang secara pasti haram karena berpotensi merugikan, namun ada pula tindakan yang boleh dilakukan karena potensi bahayanya sangat jarang terjadi.

Dengan demikian, metode saddudz dzari’ah memberikan panduan yang penting dalam menilai dampak dari setiap tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan larangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa juga menjadi pedoman utama dalam menjalankan ajaran Islam.