Dalam dunia jual beli, terdapat praktik yang dikenal dengan istilah bai’ urbun. Bai’ urbun adalah transaksi di mana pembeli memberikan sejumlah uang muka kepada penjual sebagai jaminan terhadap kesepakatan transaksi yang telah dibuat. Jika transaksi dilanjutkan, uang muka tersebut akan dihitung sebagai bagian dari harga keseluruhan. Namun, jika pembeli membatalkan akad, maka uang muka tersebut menjadi milik penjual.
Persoalan hukum mengenai bai’ urbun ini menimbulkan perbedaan pendapat di antara ulama dari berbagai mazhab. Jumhur fuqaha dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiiyah mengharamkan praktik bai’ urbun, sementara ulama dari mazhab Hanbali membolehkannya.
Landasan pelarangan bai’ urbun oleh jumhur ulama mazhab yang melarang transaksi ini adalah karena adanya dua syarat yang dianggap cacat dalam transaksi urbun. Pertama, pembeli tidak mengembalikan uang muka jika terjadi pembatalan transaksi; kedua, pembeli harus mengembalikan barang kepada penjual jika pembelian tidak terjadi dengan kesepakatan.
Di sisi lain, ulama yang membolehkan uang muka dalam transaksi, seperti kalangan Mazhab Hanbali, mengutip hadits-hadits yang mendukung pembolehan transaksi bai’ urbun. Mereka berargumen bahwa transaksi urbun dapat digunakan sebagai jaminan terhadap kerugian yang mungkin timbul akibat penundaan atau ketidakaktifan dalam transaksi.
Dengan demikian, simpulan hukum mengenai transaksi jual beli dengan uang muka (bai’ urbun) dapat dibagi menjadi dua pendapat: haram menurut jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, serta boleh menurut kalangan Hanabilah. Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai perspektif masing-masing mazhab dapat membantu menjelaskan keragaman pandangan dalam hal ini.