Dalam pembahasan pihak-pihak yang bisa mendapatkan harta warisan—selain para pihak yang mendapatkan bagian pasti sebagaimana ditentukan di dalam Al-Qur’an dan pihak yang mendapatkan bagian ashabah—ada dua pihak yang juga sering disinggung dalam membahas warisan. Kedua pihak tersebut adalah baitul mal dan dzawil arham.
Biasanya kedua pihak tersebut disinggung para ulama pada saat mereka membahas tentang radd, yaitu tentang kepada siapa sisa harta waris diberikan setelah dibagi ke semua ahli waris yang ada sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Baitul Mal
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa yang dimaksud baitul mal di sini bukanlah lembaga baitul mal sebagaimana yang setiap hari kita lihat di Indonesia. Baitul mal di sini adalah satu lembaga semacam kas negara yang menangani segala harta umat Muslim baik pendapatan maupun pengeluaran. Salah satu fungsinya adalah untuk mengurusi dan memenuhi berbagai kebutuhan umat Islam.
Sebagai contoh, bila kita mempelajari fiqih, di antaranya akan kita dapati satu aturan bahwa bila seorang yang meninggal dunia tak memiliki cukup harta untuk membeli kain kafan maka untuk membelinya bisa diambilkan uang dari baitul mal. Seorang yang telah terkena kewajiban berhaji namun tak kunjung melaksanakan ibadah haji dan di kemudian hari ia tak memiliki kemampuan materi untuk melaksanakannya maka biaya hajinya bisa diambilkan dari baitul mal dan lain sebagainya.
Pada awalnya, Imam Syafi’i dan para ulamanya menyertakan baitul mal sebagai salah satu pihak yang dapat menerima harta warisan. Ini bisa terjadi apabila orang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris sama sekali, atau memiliki ahli waris namun harta warisannya tidak habis dibagi setelah semua ahli waris menerima bagiannya masing-masing sementara tidak ada ahli waris yang mendapat bagian ashabah.
Dalam kasus seperti ini, maka sisa harta waris yang tak terbagi itu oleh kalangan ulama Syafi’iyah diberikan kepada baitul mal. Nantinya harta waris ini akan digunakan untuk kemaslahatan umat Muslim.
Dijadikannya baitul mal sebagai lembaga yang berhak menerima warisan pada mulanya berdasar kepada sabda Rasulullah yang menyatakan:
وَأَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ
Artinya, “Aku pewaris bagi orang yang tak memiliki ahli waris,” (HR Abu Dawud).
Kita tahu bahwa Rasulullah menerima warisan sama sekali bukan untuk dirinya melainkan beliau gunakan warisan tersebut untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Dari sini lah kemudian para ulama faraidh memberikan fatwa tentang bisanya baitul mal menerima warisan dan menjadikannya sebagai pihak penerima setelah ahli waris penerima bagian pasti dan ahli waris penerima ashabah.
Namun pada perkembangannya, para ulama Syafi’iyah melihat bahwa baitul mal tidak lagi dikelola sebagaimana mestinya dan tidak lagi mengurusi kepentingan umat Muslim. Oleh karenanya mereka kemudian tidak memberikan sisa harta waris yang tak terbagi kepada baitul mal. Mereka lebih memilih memberikan sisa harta waris tersebut kepada dzawil arham.
Dzawil Arham
Pihak lain yang juga sering disebut dalam pembahasan warisan di dalam fiqih Islam adalah dzawil arham. Imam Nawawi di dalam Kitab Raudhatut Thâlibîn menamai dzawil arham sebagai setiap kerabat yang tidak memiliki bagian pasti dan tak mendapat bagian ashabah.
Secara rinci, Imam Nawawi menyebutkan ada 10 golongan yang termasuk kategori dzawil arham, yakni:
- Kakek dari ibu
- Setiap kakek atau nenek yang gugur mendapatkan waris
- Cucu dari anak perempuan
- Anak perempuan dari saudara laki-laki
- Anak dari saudara perempuan
- Anak dari saudara laki-laki seibu
- Paman seibu
- Anak perempuannya paman
- Bibi dari bapak (saudara perempuannya bapak)
- Paman dan bibi dari ibu (saudara laki-laki dan saudara perempuannya ibu)
Pada dasarnya di dalam ilmu waris Islam, dzawil arham tak memiliki bagian apapun dalam pembagian harta warisan, baik bagian pasti, ashabah maupun bagian sisa yang tak terbagi. Bagian pasti sudah pasti diberikan kepada ahli waris yang telah ditentukan bagiannya oleh nash. Pun demikian dengan bagian ashabah.
Adapun sisa harta warisan yang tak terbagi oleh para ulama semestinya itu diberikan kepada baitul mal untuk kepentingan dan kemaslahatan kaum Muslimin, selagi baitul mal tersebut memenuhi syarat.
Dalam hal ini Imam Nawawi menuturkan:
وَقَوْلُنَا: إِنَّ الصَّحِيحَ أَنَّهُمْ لَا يَرِثُونَ وَلَا يُرَدُّ، هُوَ فِيمَا إِذَا اسْتَقَامَ أَمْرُ بَيْتِ الْمَالِ، بِأَنْ وَلِيَ إِمَامٌ عَادِلٌ
Artinya “Pendapat kami: pendapat yang sahih adalah bahwa dzawil arham tidak bisa mewarisi dan juga tidak bisa (sisa harta waris) dikembalikan kepada mereka. Itu apabila baitul mal dikelola secara benar, yakni dikelola oleh pemimpin yang adil.” (An-Nawawi, Raudhatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1991]).
Senada dengan Imam Nawawi di atas, Ibnu Naqib juga menyatakan:
فإذالم يكنْ للميتِ أقارب، ولا ولاءَ عليهِ، انتقلَ مالُهُ إلى بيتِ المالِ إرثاً للمسلمينَ إنْ كانَ السلطانُ عادلاً
Artinya, “Apabila si mayit tidak memiliki kerabat dan budak yang dimerdekakannya maka harta warisannya berpindah ke baitul mal sebagai warisan bagi kaum Muslimin apabila penguasanya orang yang adil.” (Ibnu Naqib, ‘Umdatus Sâlik wa ‘Uddatun Nâsik, [Qatar, Kementerian Agama: 1982]).
Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, pada perkembangannya para ulama Syafi’iyah kini lebih cenderung memberikan harta waris yang tak terbagi kepada dzawil arham daripada kepada baitul mal. Ini dikarenakan baitul mal dianggap tak lagi memenuhi syarat untuk bisa mendapatkan warisan. Baitul mal dianggap sudah tidak lagi representatif sebagai lembaga yang mengurusi dan memenuhi kebutuhan umat Islam sebagaimana awal pembentukannya.
Oleh karenanya para ulama Syafi’iyah menetapkan adanya “radd” (mengembalikan sisa harta waris) kepada dzawil furudl selain suami dan istri. Bila tak ada ahli waris yang menerima bagian pasti, maka para ulama memberikan warisan tersebut kepada dzawil arham. Karenanya kebanyakan ulama faraidh tidak menyebutkan baitul mal sebagai salah satu sebab yang bisa menerima warisan. Demikian ditegaskan oleh Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitabnya Al-Fiqhul Manhaji.
Imam Haramain di dalam Kitab Nihâyatul Mathlab fî Dirâyatil Madzhab menyatakan bahwa meskipun para ulama Syafi’iyah pada mulanya tidak memberikan bagian waris bagi dzawil arham namun kini mereka lebih cenderung membagikan harta waris kepada dzawil arham karena tidak sehatnya kondisi baitul mal.
Demikian pula dengan Imam Nawawi, ketika harta warisan tak terbagi habis sementara baitul mal tak lagi layak dianggap sebagai lembaga yang memenuhi syarat menerima warisan, beliau menganggap pendapat yang paling shahih adalah mengembalikan dan memberikan harta warisan tersebut kepada dzawil arham. Wallâhu a’lam.