Otoritas Jasa Keuangan melalui situs Sikapi Uangmu mendefinisikan obligasi sebagai surat utang jangka menengah atau panjang yang dapat diperjualbelikan. Obligasi mengandung janji dari pihak emiten untuk membayar bunga (kupon) pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada akhir waktu yang telah ditentukan kepada pembeli obligasi.
Obligasi adalah instrumen investasi dengan pendapatan tetap yang memiliki tingkat pertumbuhan nilai relatif stabil serta risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan saham. Ada tiga jenis obligasi, yaitu obligasi pemerintah, obligasi korporasi, dan obligasi ritel.
Namun, dalam perspektif syariah, janji bagi hasil berupa bunga yang diberikan oleh pihak yang meminjamkan kepada pemberi pinjaman termasuk dalam kategori riba qardli yang diharamkan. Oleh karena itu, diperlukan solusi agar obligasi dapat diterapkan di Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Dalam Islam, harta dibagi menjadi tiga: aset fisik (‘ainin musyahadah), aset berjamin (syai-in maushuf fi al-dzimmah), dan aset fiktif (ainin ghaibah). Efek yang terdapat di pasar modal termasuk dalam kelompok aset berjamin. Jika efek tersebut berjamin aset fisik, dikenal dengan istilah Efek Berjamin Aset (EBA). Jika berjamin usaha nonfisik seperti pelayanan atau jasa, dikenal sebagai sekuritas (saham dan sukuk).
Sukuk, atau obligasi syariah, memiliki underlying asset berupa bidang pelayanan, jasa, produksi, dan terutama dividen. Oleh karena itu, sukuk merupakan bukti penyertaan modal dan pemegangnya berhak menikmati hak-hak terkait penyertaan modal tersebut.
Modal dalam akad syirkah inan terdiri dari modal tunai. Pihak penyetor modal diakui memiliki nisbah kepemilikan atas aset usaha.
Namun, penerapan sukuk menghadapi hambatan saat memasuki pasar modal. Prinsip obligasi di pasar tersebut mengikuti obligasi konvensional, sehingga emiten syariah tetap harus membayar bunga dan pendapatan tetap kepada pembeli sukuk.
Dokumen POJK Nomor 61/POJK.04/2017, POJK Nomor 62/POJK.04/2017, dan POJK Nomor 63/POJK.04/2017 tetap menyatakan kewajiban membayar bunga dan pendapatan tetap bagi pembeli sukuk, menjadi hambatan utama penerapan prinsip syariah pada sukuk.
Obligasi syariah diterbitkan untuk mencari utangan guna mengembangkan usaha. Penerbitan sukuk memungkinkan beberapa akad kerja sama produksi seperti ijarah, murabahah, mudharabah, dan qiradl. Sukuk juga bisa diselenggarakan melalui akad jualah, istishna’, salam, atau bai’ bil-‘ajal.
Hambatan penerapan sukuk terkait pendapatan berbasis bunga dapat diatasi melalui akad ju’alah dan ijarah dengan margin tertentu. Misalnya, dalam obligasi konvensional setiap pinjaman 100 ribu rupiah dikenakan bunga 4% per tahun. Dalam prinsip syariah, 100 ribu rupiah dipandang sebagai akad utang dengan margin pembayaran jasa kepada pedagang perantara efek.
Dengan demikian, cara pertama lebih condong pada pola qardlu jara naf’an yang haram, sedangkan cara kedua berbasis akad ijarah dalam mencarikan utangan. Wallahu a’lam bish shawab.