Hari Jumat adalah hari yang mulia. Di antara tujuh hari dalam sepekan, dialah yang teragung. Nyaris semua ulama menyepakati hal ini, kalau tidak untuk dikatakan semuanya. Syekh Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi (1300 H) mengatakan bahwa pada hari inilah Allah ﷻ membebaskan 600.000 hamba-Nya dari api neraka, mencatat pahala sebagai syahid, dan kaum muslimin yang mati di hari itu tak tersentuh api neraka. Keutamaan lainnya disampaikan oleh Sayyid al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (1044-1132 H), bahwa Allah ﷻ menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam di hari Jumat, dan di hari ini pula Allah mengizinkan para penduduk surga kelak menemui-Nya. Saking mulianya, sampai-sampai sekalian malaikat menamainya ‘yaumul mazid’ (hari reward besar-besaran) karena Allah membuka banyak pintu kasih-sayang, curahan karunia, dan bentangan kebaikan-Nya.
Di hari yang teramat mulia ini, umat Islam diperintahkan untuk melakukan sembahyang secara berjamaah yang kemudian kita kenal dengan shalat Jumat. Dalam tulisan ini, akan dipaparkan sejarah dan dalil legalisasi shalat Jumat.
As’ad bin Zurarah, seorang sahabat asal Yatsrib (sekarang kota Madinah), adalah yang pertama kali mendirikan shalat Jumat di sana—lebih tepatnya di sebuah desa di pinggiran Madinah yang dikenal dengan Nuqai’ al-Khadhimat—atas instruksi dari sahabat Mush’ab bin Umair yang diutus Rasulullah ﷺ untuk memimpin, mengajarkan Al-Qur’an, dan menyebarkan Islam di Madinah al-Munawwarah.
Jauh sebelum hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ telah lebih dahulu mengutus sahabat-sahabatnya untuk berdakwah dan memperkenalkan Islam. Saat itu, penduduk Islam Madinah yang minoritas sedang dalam diskriminasi sosial dan pelecehan nilai kemanusiaan oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Karena merasa tidak aman, Nabi akhirnya mencari tempat yang lebih ramah dan bersih untuk mewadahi nilai-nilai ajaran suci yang dibawanya. Kota Yatsrib adalah pilihan terbaik. Setelah sampai di Yatsrib, sahabat Mush’ab bin Umair meminta izin kepada Rasulullah ﷺ yang ada di Makkah untuk mendirikan shalat Jumat, dan Nabi mengizinkannya.
Terkait ini, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani dalam karyanya Syari’atullah al-Khalidah mengatakan bahwa tidak heran bila Abu Hamid berpendapat bahwa shalat Jumat diwajibkan di Makkah. Melihat sejarah ini, kita memperoleh kesimpulan bahwa kewajiban shalat Jumat disyariatkan di Makkah, namun dilaksanakan pertama kali di Madinah. Kesimpulan ini dapat dirujuk keterangannya dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarh Qurratul ‘Ain di awal fashal tentang shalat Jumat.
Lalu pertanyaannya, mengapa ada sebagian ulama menulis bahwa dalil kewajiban shalat Jumat adalah Al-Qur’an surah al-Jumu’ah ayat 9? Padahal ayat ini tergolong dalam surah Madaniyyah (surah yang turun setelah nabi hijrah ke Madinah). Hal ini kontradiktif dengan kesimpulan di atas bahwa kewajiban shalat Jumat disyariatkan di Makkah.
Sebagaimana ditulis oleh Syekh al-Islam Abu Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitab Tuhfah at-Thullab bi Syarhi Tahriri Tanqih al-Lubab pada awal bab shalat Jumat:
والأصل في وجوبها آية {إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة} (الجمعة: ٩) أي: فيه
Artinya: “Dalil kewajiban shalat Jumat adalah ayat, ‘Apabila (manusia) telah diseru untuk melakukan shalat di hari Jumat..’”
Ada silang pendapat ulama mengenai dalil kewajiban shalat Jumat. Pendapat pertama, sebagaimana dikatakan Abu Hamid, bahwa shalat Jumat disyariatkan di Makkah. Pendapat kedua mengatakan bahwa shalat Jumat disyariatkan di Madinah. Hal ini tegas diungkapkan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Atsqallani yang dikutip Syekh Syatha ad-Dimyathi:
دلت الأحاديث الصحيحة على أن الجمعة فرضت بالمدينة
Artinya: “Ada beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa shalat Jumat diwajibkan di Madinah.”
Menanggapi pernyataan al-Hafidz Ibnu Hajar ini, tanpa menyampingkan jejak sejarah yang ada, Syekh Syatha menggunakan pendekatan teori al-jam’u wa at-taufiq baina al-aqwal al-muta’aridhah (upaya mendialogkan beberapa pendapat yang kontradiktif). Dalam I’anah at-Thalibin ia mengatakan:
ويمكن حمل قوله فرضت بالمدينة على معنى أنه إستقدر وجوبها عليهم فيها لزوال العذر الذي كان قائما بهم
Artinya: “Statement Syekh Ibnu Hajar yang mengatakan ‘Shalat Jumat diwajibkan di Madinah’ itu, boleh jadi bermakna bahwa nabi berharap agar kewajiban shalat Jumat mampu dijalankan di Madinah, mengingat tak ada penghalang apa pun yang menghambat mereka di sana.”
Menguatkan pendapat pertama, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam Syari’atullah al-Khalidah mengatakan bahwa surah al-Jumu’ah ayat 9 tersebut bukanlah dalil legalisasi kewajiban shalat Jumat, melainkan dalil tentang keharaman melakukan jual-beli (atau transaksi lainnya) saat adzan dikumandangkan. Ia menjelaskan:
أما قوله تعالى {يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ} فهي مدنية نزلت بعد فرضيتها بكثير، للتنصيص على ترك البيع وقتها ولتأكيد ما أثبتته السنة بالقرآن
Artinya: “Adapun firman Allah yang berbunyi, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli’, tergolong dalam surah Madaniyyah yang turun jauh setelah sekian banyak dalil mengenai shalat Jumat. Di mana, maknanya untuk menegaskan keharaman melakukan jual-beli saat azan berkumandang, dan untuk menguatkan hukum (wajib shalat Jumat) yang ditetapkan hadits.”
Kesimpulannya, surah al-Jumu’ah ayat 9 bukanlah dalil pensyariatan shalat Jumat. Dalilnya adalah hadits Rasulullah ﷺ ketika memerintahkan sahabat Mush’ab bin Umair untuk melaksanakan shalat Jumat pertama. Walaupun tidak salah juga bila mengatakan bahwa surah al-Jumu’ah ayat 9 adalah salah satunya, tetapi hanya sebagai dalil penguat semata (al-muakkid lissunnah). Wallahu a’lam bisshawab.