Tulisan ini mengkaji hak tubuh dalam pernikahan, khususnya hak untuk menyalurkan hasrat seksual secara halal dan layak (talbiyyah al-gharizah al-jinsiyyah), berdasarkan pandangan Kiai Faqihuddin Abdul Qadir dalam kitabnya, Manba’ussa’âdah fi Asasi Husnil Mu’âsyarah wa Ahammiyyati at-Ta’âwun wa al-Musyârakah fi Hayât az-Zaujiyyah. Sebagai pembuka, mari kita simak pernyataan Imam Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Baghdadi (215-297 H), seorang guru besar sufi dari Baghdad.
Pernyataan Imam al-Junaid yang dikutip oleh al-Ghazali (505 H) dalam Ihya’ Ulumiddin (juz 2, hal. 39) berbunyi:
“Saya juga membutuhkan seks sebagaimana saya butuh makanan pokok.”
Maknanya, seperti halnya makanan pokok yang membuat kita sehat dan bertenaga, berhubungan seksual dengan pasangan halal bisa mensucikan hati kita dari hasrat-hasrat rendah dan membuat hidup lebih bergairah. Al-Ghazali menambahkan bahwa pasangan halal (istri maupun suami) adalah seperti makanan pokok yang juga berfungsi sebagai media penyucian jiwa dari hasrat rendah. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Siapa saja yang tertarik pada perempuan atau laki-laki lain, maka hendaklah ia pulang dan menyalurkan hasratnya itu kepada pasangan halalnya.”
Dalam banyak kesempatan, Nabi sering memotivasi umatnya untuk menikah jika sudah siap secara emosional, finansial, dan memiliki pengetahuan tentang nikah serta tanggung jawab biologis. Seperti dalam riwayat Anas bin Malik, ada tiga orang laki-laki yang bertanya kepada istri-istri Nabi tentang ibadah Rasulullah ﷺ. Setelah mendengar jawabannya, mereka merasa bahwa ibadah mereka kurang dibandingkan dengan Rasulullah ﷺ. Salah satu dari mereka bertekad melakukan shalat malam selamanya, yang lain bertekad berpuasa tanpa henti, dan yang ketiga bertekad untuk membujang selamanya.
Rasulullah ﷺ kemudian datang dan bersabda:
“Kalian semua yang bicara ini dan itu sejak tadi, demi Allah, saya adalah hamba yang paling takut dan paling bertakwa kepada-Nya. Namun, di satu waktu saya puasa, dan di waktu lain tidak, saya juga shalat dan tidur malam, dan menjalin relasi pernikahan pula (sebagaimana biasa). Karenanya, siapa pun yang tak mengikuti jalanku, bukanlah termasuk golonganku.” (Shahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah, bab at-targib fi az-zawaj, hal. 955, hadits ke 5063).
Di lain kesempatan, Nabi melarang umatnya untuk membujang seumur hidup. Seperti dalam Hadits riwayat sahabat Sa’ad bin Abi Waqash:
“Rasulullah ﷺ menolak permintaan sahabat Utsman bin Mazh’un yang mau membujang sepanjang usianya. Andai saja Nabi mengizinkan Utsman, kami pasti mengebiri diri kami sendiri.” (Shahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah, hal. 956, hadits ke 5073).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, jelas bahwa Nabi menyeru umatnya untuk menikah. Dalam kajian tentang relasi seksual antara suami-istri, Kiai Faqih menyoroti perspektif keadilan dan kesetaraan. Dalam pernikahan sebagai satu-satunya jalan penyaluran hasrat seksual yang halal dan sehat, kedua pihak harus memperoleh kenikmatan dan kepuasan seks yang sama. Tidak benar jika suami berhenti setelah mencapai orgasme sementara istri belum mencapai puncaknya. Sebaliknya juga berlaku.
Pemenuhan ajakan untuk berhubungan seksual juga harus adil dan setara. Ketika istri mengajak suami harus bersedia, begitu pula sebaliknya selama tidak ada halangan syar’i seperti sakit atau haid. Dalam Manba’ussa’adah (hal. 13) dikatakan:
“Ketika sang istri dalam kebutuhan untuk mengenyangkan hasrat seksualnya, maka si suami tidak boleh berpaling dari memenuhi kebutuhan istrinya itu. Demikian juga saat sang suami membutuhkannya, si istri harus memenuhi panggilan tersebut.”
Hal ini merujuk pada hadits riwayat Abu Hurairah ra:
“Ketika seorang suami mengajak istrinya melakukan hubungan seksual, lalu ia menolak (tanpa alasan), dan sang suami sangat menyesalkan hal itu, maka malaikat ‘melaknat’ (mencatat sebagai laku buruk) sang istri sampai waktu subuh.”
Hadits ini jika dibaca dengan perspektif mubadalah (kesalingan), berlaku juga bagi laki-laki. Ia juga bisa ‘dilaknat’ malaikat sepanjang malam bila menolak ajakan istrinya tanpa alasan. Cara baca semacam ini berdasarkan titah Allah dalam surah al-Baqarah (187):
“Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.”
Logikanya, bagaimana mungkin pakaian hanya dikenakan oleh suami saja? Jadi hadits di atas harus dimaknai secara adil dan bijaksana.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pembaca. Wallahu a’lam bishshawâb.