Masih sangat terang dalam ingatan bagaimana Rasulullah ﷺ menyikapi persoalan dua sahabat yang dipersaudarakannya, Salman al-Farisi dan Abu Darda’, ketika berselisih dalam amaliah. Sahabat Salman beribadah (menunaikan hak-hak Allah) semampunya tanpa melupakan hak diri, keluarga, dan sosialnya. Berbeda dengan Abu Darda’ yang membangun hubungan vertikal dengan Allah ﷻ secara ekstra tanpa peduli akan hak keluarga, sosial, bahkan dirinya sendiri.
Dalam Shahih al-Bukhari (Kitab al-Adab, pada bab Shun’i at-Tha’am wa at-Takalluf li ad-Dhaif, hadits ke 6139), Imam al-Bukhari menulis hadits riwayat Abu Juhaifah tentang kunjungan Salman al-Farisi ke gubuk saudaranya, Abu Darda’. Di sana, ia mendapati Ummu Darda’ sedang dalam kegelisahan, mukanya murung dan pakaiannya kusut. Salman pun langsung bertanya apa yang menimpa istri saudaranya ini. Ummu Darda’ menjawab bahwa Abu Darda’ tidak punya gairah mengurusi duniawinya.
Abu Darda’ adalah orang yang terlalu giat beribadah kepada Allah ﷻ. Setiap hari ia berpuasa, malam-malamnya diisi dengan shalat sunnah, sampai tidak punya waktu untuk memenuhi kewajibannya terhadap keluarga, sosial, dan dirinya sendiri. Ia berada dalam candu ibadah yang tinggi.
Ketika Abu Darda’ datang dan menyiapkan makanan untuk Salman, Salman menolak dan mengatakan bahwa ia tidak akan makan kecuali Abu Darda’ ikut makan bersamanya. Abu Darda’ yang hari itu berpuasa pun akhirnya membatalkan puasanya. Demikian juga saat hendak menunaikan shalat malam, beberapa kali ia beranjak tetapi disuruh tidur kembali oleh Salman al-Farisi. Baru setelah sepertiga malam tiba, Salman membangunkan saudaranya untuk shalat malam berjamaah.
Seusai shalat, Salman berkata kepada Abu Darda’: “Sungguh, Tuhanmu memiliki hak yang harus kaupenuhi, dirimu memiliki hak yang harus kaupenuhi, keluargamu juga memiliki hak yang harus kaupenuhi, maka berikanlah hak mereka secara proporsional.” Keesokan harinya, persoalan tersebut dihaturkan kepada Nabi ﷺ. Beliau bersabda, “Benar apa yang dikatakan Salman al-Farisi.”
Para ulama kemudian menjelaskan tiga hak tubuh yang harus dipenuhi secara sempurna: hak konsumsi makanan yang halal dan bergizi baik (at-taghadzi bi al-halal at-thayyib), hak atas istirahat yang cukup (akhdzu ar-rahah), dan hak menyalurkan hasrat seksual secara halal dan layak (talbiyyah al-gharizah al-jinsiyyah).
Mengonsumsi makanan dan minuman halal dengan kualitas gizi yang baik secara tidak berlebihan adalah hak tubuh yang harus dipenuhi setiap orang. Anugerah sehat dari Allah ﷻ wajib dijaga dengan cara demikian. Sebagian besar penyakit timbul dari makanan yang dikonsumsi. Penting dicatat bahwa term ‘at-thayyib’ di sini tidak hanya berlaku bagi umat Islam saja, tetapi juga untuk umat agama lain.
Dalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 168 disebutkan: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan bahwa ‘halal’ bermakna suatu jenis makanan atau minuman yang memang halal (halal min dzatihima), dan ‘thayyib’ mengecualikan makanan atau minuman milik orang lain tanpa izin mengonsumsinya. Oleh karena itu, jika dikonsumsi walaupun memiliki kandungan gizi yang baik tetap tergolong tidak thayyib karena dapat membuat Tuhan murka.
Thayyib tidak hanya dimaknai baik dari sudut pandang gizi dan kesehatan jasmani tetapi juga baik secara sosial. Dalam surah an-Nisa’ ayat 10, Allah ﷻ melarang keras orang yang memakan harta anak yatim secara zalim. Menjaga tubuh tetap sehat bukan hanya dengan menjaga kualitas makanan dan pola makan semata tetapi juga tentang porsi makan yang tak berlebihan.
Al-Quran dalam surah al-A’raf ayat 31 bertitah: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Kiai Faqih dalam Manba’ussa’âdah mengutip Syekh Nawawi al-Bantani pada at-Tafsîr al-Munîr tentang israf yang dilarang syariat: “Sesungguhnya, israf itu adalah melampaui batas keharaman, mengharamkan yang halal, dan berlebihan dalam konsumsi makanan.”
Allah ﷻ tidak saja membuat standarisasi dalam hal ibadah tetapi juga dalam pelbagai urusan kehidupan lainnya. Secara tersirat (QS al-A’raf 31) menyampaikan: “Bertakwalah kepada Allah yang kalian imani dalam setiap lini kehidupan dan aktivitas yang dijalani; baik ketika makan, minum, berpakaian, relasi dengan perempuan (pasangan), dan lain-lain. Dan janganlah melampaui batas dalam urusan penghalalan dan pengharaman.”
Menaruh perhatian terhadap aturan-aturan Allah (hudûdullah) dalam hal ini tak kalah penting dengan memelihara ibadah dan ketakwaan kita kepada-Nya. Setiap orang harus adil dalam menentukan apa dan berapa kadar makanan atau minuman yang dikonsumsinya. Karena makanan dan pola makan yang tak sehat akan menciptakan pribadi, lingkungan, dan ibadah yang tak sehat pula.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bisshawâb.