Beberapa waktu ini, masyarakat dihebohkan oleh kasus seorang guru TK di Malang yang terbelit utang kepada sejumlah aplikasi pinjaman online (pinjol) dengan jumlah mencapai puluhan juta. Akibatnya, ia diteror oleh beberapa tenaga debt collector pinjol tersebut, memantik reaksi sejumlah pihak, termasuk Walikota Malang dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang keamanan meminjam di aplikasi pinjaman online dan khususnya aplikasi P2P lending. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan apa itu pinjaman online dan P2P lending sebagai bagian dari upaya memberikan literasi digital produk keuangan.
Banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan peer to peer lending (P2P lending) dengan pinjol (pinjaman online). Umumnya, masyarakat hanya mengetahui kesamaan antara keduanya, yaitu sama-sama memberikan pinjaman/pembiayaan. Padahal, dalam praktiknya, keduanya berbeda dari segi operasional dan tata cara pendiriannya.
Payung Hukum Pinjaman Online dan P2P Lending
Pinjaman online adalah platform pembiayaan dalam bentuk dana tunai kepada masyarakat melalui bantuan teknologi informasi. Saat mengakses pinjaman online, masyarakat berhadapan dengan satu pihak saja, yaitu platform penyedia yang menempatkan diri sebagai marketplace. Platform penyedia ini tidak memiliki payung hukum, sehingga ilegal secara hukum positif negara.
Sementara itu, P2P lending juga merupakan platform yang menawarkan pembiayaan atau kredit kepada masyarakat dalam bentuk dana tunai melalui perantara teknologi informasi. P2P lending berperan sebagai marketplace yang mempertemukan antara investor (pemberi pinjaman) dan peminjam. Penyelenggaraan P2P lending diatur secara ketat oleh POJK Nomor 77 Tahun 2016.
Kedua platform tersebut bergerak dalam bisnis dan berorientasi pada pencarian profit. Setiap dana yang dikucurkan sudah pasti menghendaki adanya imbal hasil berupa keuntungan. Untuk mendapatkan keuntungan, mereka harus menggaet banyak konsumen. Semakin banyak konsumen, maka peluang keuntungan semakin besar. Konsumen mereka adalah para lender/debitur yang mengajukan pembiayaan.
Akad Pinjol dan P2P Lending serta Imbasnya
Baik pinjol maupun P2P lending sama-sama bergerak dalam bidang pembiayaan atau pemberi kredit (qardl). Secara syara’, akad utang-piutang merupakan akad yang berbasis amanah dan niatan untuk tolong-menolong (ta’awun). Relevansi dari akad amanah adalah besaran dana yang dipinjamkan harus kembali sesuai dengan besaran pihak peminjam mengajukannya. Sebagai akad yang berbasis ta’awun, pemberian utang kepada pihak lender harus dengan niatan membantu.
Pada umumnya, kedua sikap tersebut dilakukan terhadap pihak-pihak yang saling mengenal satu sama lain. Maka dibutuhkan penjamin (dlamin/kafil) bila melibatkan skala masyarakat luas yang belum tentu saling mengenal. Dalam konteks ini, penjamin dari P2P lending adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagai penerbit POJK Nomor 77 Tahun 2016. Sementara itu, untuk pinjaman online ilegal, sikap penjaminannya ditentukan oleh penyelenggara platform itu sendiri.
Amanah penjaminan ditujukan atas dua hal: kembalinya dana yang diutangkan (penagihan nasabah) dan hak nasabah untuk mendapatkan rescheduling atau restrukturisasi bila terjadi kesulitan mengembalikan. Menjalankan amanah ini akhirnya membutuhkan debt-collector (jasa penagih utang), yang kemudian sering menimbulkan sejumlah permasalahan.
Dampak Keberadaan P2P Lending Legal dan Ilegal
Mencermati beberapa fakta penyelenggaraan P2P lending ilegal dan pinjol ilegal, tampak beberapa perbedaan aplikasinya di masyarakat.
Pertama, proses pengajuan pembiayaan. Sebagai platform yang berorientasi bisnis dan pencarian keuntungan, terjadi persaingan dalam menggaet konsumen. P2P lending legal memiliki aturan lewat POJK Nomor 77 Tahun 2016, sedangkan pinjol ilegal sering tidak melakukan seleksi dan identifikasi secara benar pada setiap calon peminjam.
Kedua, kantor alamat perusahaan. Berdasarkan POJK 77/2016, P2P lending legal memiliki kantor fisik dengan alamat jelas. Sementara pinjol ilegal umumnya hanya memiliki virtual office tanpa alamat kantor yang jelas.
Ketiga, penyalahgunaan data peminjam. P2P Lending legal memiliki aturan yang membatasi penggunaan data tertentu oleh pemberi pinjaman. Sedangkan pinjol ilegal sering memanfaatkan data peminjam untuk penagihan dengan cara mempermalukan (pencemaran nama baik).
Keempat, proses penagihan tidak profesional. Kasus guru TK di Malang adalah contoh kecil dari kasus pinjaman online yang berujung tidak menyenangkan akibat penagihan yang tidak profesional.
Perbedaan antara P2P lending legal dan pinjol ilegal penting dipahami agar masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam memilih platform pembiayaan.