Dalam pandangan para sufi, shalat adalah sarana perjalanan menuju Allah ﷻ. Salah satu ungkapan mereka yang terkenal adalah, “As-shalat mi’raj al-mukminin,” yang berarti “Shalat adalah mi’rajnya kaum beriman.” Jika Nabi Muhammad ﷺ diangkat menghadap Allah ﷻ melalui mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha, maka dengan shalat, orang-orang beriman dapat merasakan pertemuan tersebut. Pertanyaannya, hingga saat ini, sampai manakah shalat kita mendarat? Di mana ia terombang-ambing selama ini? Di mana kesalahan shalat kita sehingga tidak mampu menyampaikan kita ke hadirat Sang Pencipta?
Untuk memulai ini, baik kiranya kita menyimak kisah seorang sufi besar abad ketiga Hijriah, Syekh Abu Abdirrahman Hatim bin ‘Unwan al-Asham (237 H). Suatu hari, ia pernah ditanya oleh ‘Isham bin Yusuf tentang bagaimana ia melakukan shalat. Hatim al-Asham menjawab, “Ketika masuk waktu shalat, aku bangkit dari tempatku, kemudian aku mengambil wudhu lahiriah dan wudhu batiniah.”
Lalu, ‘Isham bertanya lebih lanjut, “Bagaimanakah wudhu batiniah itu?” Hatim al-Asham dengan mantap menjawab, “Wudhu lahiriah yaitu membasuh anggota wudhu dengan air. Adapun wudhu batiniah adalah membasuh tujuh anggota wudhu tersebut dengan tujuh perkara; taubat, penyesalan atas dosa masa lalu, meninggalkan ketergantungan (ta’alluq) dengan dunia, tak mengacuhkan pujian sekalian makhluk, tidak terikat dengan sesuatu apa pun, membuang kedengkian, dan membuang hasad,” jelasnya rinci.
Kemudian ia pun melakukan shalat batiniah. Saat menghadap kiblat, Imam al-Asham memandang dirinya sebagai sang hamba yang selalu bergantung pada Tuhannya. Ia seakan sedang benar-benar di hadapan keagungan Allah ﷻ, surga seolah berada di samping kanannya, neraka di bagian kirinya, malaikat pencabut nyawa, ‘Izrail ‘alaihissalam tepat di belakangnya. Dan, saat itu, ia merasa kedua kakinya berjalan di atas titian Shirath. Setelah itu, barulah ia bertakbir seraya memasang niat, membaca fatihah dan surah dengan perenungan yang dalam. Rukuk dan sujudnya serasa berada dalam liang kerendahan dan kehinaan. Bertasyahud dengan luapan harapan, dan membaca salam dengan penuh keikhlasan.
Hatim al-Asham mengatakan, “Aku sudah mengerjakan shalat seperti ini selama 30 tahun,” tutupnya kepada ‘Isham. Lalu, ia menimpali, “Hanya engkaulah yang mampu mengerjakan shalat seperti itu,” pungkasnya sambil tersendu-sendu menangis.
Membaca cerita di atas, satu hal yang secara tersirat dapat kita simpulkan adalah bahwa penghayatan shalat secara batin dapat dilakukan ketika melakukan shalat lahiriah dengan sempurna. Sulit sekali rasanya untuk masuk dalam penghayatan mendalam ketika shalat kita terburu-buru, tidak tenang, dan bacaan-bacaannya pun tak ubah bagai membaca koran. Ini bisa menjadi faktor mengapa mi’raj shalat kita kerap kali tersesat, tidak sampai pada tujuannya. Itulah sebabnya Nabi ﷺ melarang kita tergesa-gesa menuju shalat, walau untuk mengejar rakaat pertama dalam jemaah.
Dari sini, mari mulai bersama-sama mengoreksi shalat kita masing-masing. Mulai dari memperhatikan syarat, rukun, sunnah, makruh, dan hal-hal yang membatalkan shalat. Memang demikianlah rumpun shalat lahiriah yang penting dilakukan secara sempurna. Melalui ini, kita akan lebih mudah masuk dalam perenungan makna-makna bacaan dan gerakan shalat. Sehingga kekhusyukan pun perlahan akan terus hadir menghiasi setiap sembahyang yang dilakukan. Pada akhirnya, aktivitas shalat akan menjadi kenikmatan tersendiri dan bukan sebuah beban.
Sekadar untuk melawan lupa, mari kembali membuka memori kita seputar bagian-bagian shalat lahiriah yang penting dikerjakan secara sempurna itu.
Syarat-Syarat Shalat Syarat shalat terbagi menjadi dua; syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib ini maknanya seseorang tidak dibebani kewajiban shalat ketika salah satu dari syarat-syaratnya tak terpenuhi. Ada enam bagian: beragama Islam, balig, berakal sehat, tidak sedang haid atau nifas, mendengar informasi ihwal dakwah Islam (nyaris tak ditemukan sekarang), dan memiliki pengelihatan serta pendengaran yang normal (dampaknya tidak wajib shalat bagi tunanetra dan tunarungu sejak lahir).
Syarat sah adalah sesuatu yang menjadi barometer sah tidaknya shalat. Bila tidak terpenuhi, maka berdampak pada ketidakabsahan shalat. Ada 15 syarat sah menurut habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut an-Nafis fi Madzhab Ibni Idris:
- Beragama Islam
- Mumayyiz
- Sudah masuk waktu shalat
- Mengetahui fardhu-fardhu shalat
- Tidak meyakini satu fardhu pun sebagai laku sunnah
- Suci dari hadats kecil dan besar
- Suci dari najis pada pakaian, badan, maupun tempat shalat
- Menutup aurat bagi yang mampu
- Menghadap kiblat
- Tidak berbicara selain bacaan shalat
- Tidak banyak bergerak selain gerakan shalat
- Tidak sambil makan dan minum
- Tidak dalam keraguan apakah sudah bertakbiratulihram atau belum
- Tidak berniat memutus shalat atau tidak dalam keraguan apakah akan memutus shalatnya atau tidak
- Tidak menggantungkan kebatalan shalatnya dengan sesuatu apa pun
Rukun-Rukun Shalat Hadits “Shallu kama ra’aitumuni ’ushalli” mengajarkan bahwa tidak ada cara shalat selain seperti yang pernah Nabi ﷺ lakukan berdasarkan riwayat para sahabatnya. Para ulama merumuskan fardhu atau rukun shalat menjadi 15:
- Niat
- Takbiratulihram
- Memasang niat bersamaan dengan takbiratulihram
- Berdiri bagi yang mampu
- Membaca surah al-Fatihah
- Rukuk
- I’tidal
- Sujud
- Duduk di antara dua sujud
- Thuma’ninah dalam empat rukun sebelumnya (rukuk, i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud)
- Tasyahhud akhir
- Membaca shalawat Nabi setelah tasyahhud akhir
- Melafalkan salam
- Duduk untuk membaca tasyahhud akhir, shalawat Nabi, dan salam
- Tertib dalam melakukan semua rukun di atas
Rincian-rincian ini merupakan hal yang harus dipenuhi dalam shalat lahiriah. Adapun untuk shalat batiniah, satu hal yang tak boleh hilang adalah kesadaran akan esensi kerendahan kita sebagai hamba di hadapan keagungan Tuhan (rububiyyah). Inilah yang kita kenal dengan khusyuk.
Allah ﷻ berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 45:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ
Artinya: “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”
Imam Fakhruddin ar-Razi (604 H) mengatakan khusyuk adalah at-tadzallul wa al-khudhû’ (memperlihatkan esensi kerendahan dan ketundukan) kepada Allah ﷻ.
Orang yang tidak mantap hati melihat kesungguhan Allah memberi ganjaran terbaik-Nya bagi yang khusyuk serta siksa terberat-Nya bagi yang meninggalkan akan merasa berat melakukan shalat.
Ada banyak sekali kisah-kisah kekhusyukan shalat para ulama salafuna as-shalih yang bisa menjadi perenungan masing-masing seperti kisah Dzun-Nun al-Mishri (180 H) dan Abu Sa’id Abul Khair Aqta’ (1049 M).
Untuk rincian ihwal sunnah, makruh, dan hal-hal yang membatalkan shalat dapat diakses secara mudah pada buku-buku tentang tata cara shalat (shifat as-shalâh). Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.