- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Perbedaan Saham Konvensional dan Saham Syariah di Pasar Modal

Google Search Widget

Pasar modal dikenal dengan istilah pasar sekunder. Di dalam pasar ini, diperdagangkan berbagai efek baik itu terdiri atas saham konvensional maupun yang sudah disertifikasi sebagai efek atau saham syariah. Perbedaan antara saham konvensional dan saham syariah pada dasarnya ada dua, yaitu:

Pertama, saham konvensional bisa diterbitkan oleh perusahaan yang tidak bergerak dalam bidang yang dihalalkan secara syara’. Kita sering mendengar istilah saham perusahaan minuman keras, dan sejenisnya. Kita juga sering mendengar mengenai saham bank konvensional yang ditengarai sebagai bergerak dalam industri riba. Karena wilayah geraknya tidak dibenarkan oleh syara’, maka hasil yang didapat dari memperdagangkan hal tersebut juga menjadi tidak dibenarkan oleh syara’.

Bagaimanapun juga minuman keras dalam konteks syariah, adalah tidak bisa disebut sebagai harta. Alhasil, menjual-belikan saham produsen minuman keras, juga dianggap sebagai ta’awun ‘ala al-ma’ashi sehingga dihukumi sebagai haram disebabkan tidak sahnya saham tersebut diperjualbelikan secara syara’.

Lain halnya dengan saham perbankan konvensional, yang sebagian ruang geraknya ada yang halal dan ada pula yang haram serta jelas-jelas menunjukkan praktik riba. Untuk pendapatan yang diperoleh dari praktik halal, maka hukumnya juga halal serta berlaku sah sebagai harta. Namun, apabila pendapatan itu diperoleh dari praktik haram, maka harta perolehan itu hakikatnya bukan milik perbankan, melainkan milik nasabah. Oleh karenanya, membeli saham yang diperoleh dari pendapatan haram tersebut, hukumnya menjadi haram pula.

Masalahnya kemudian adalah praktik pendapatan halal dan haram tersebut bercampur menjadi satu berwujud sebagai income perbankan. Dan mengingat komposisi perbankan konvensional di Indonesia adalah menempati statistik yang lebih tinggi (kurang lebih 90%) dari seluruh perbankan syariah di Indonesia, maka perpaduan komposisi antara harta halal dan haram dapat dikategorikan sebagai ‘ammu al-balwa.

Disinilah selanjutnya terjadi dialektika, mengenai bolehkah melakukan akuisisi terhadap saham perbankan konvensional tersebut sehingga kelak ke depan bisa diubah statusnya menjadi perbankan syariah? Sebab, bagaimanapun juga, untuk bisa mengubah sistem perbankan, maka harus dilakukan praktik akuisisi tersebut.

Kedua, saham syariah memiliki underlying asset (aset yang mendasari saham) sebagai aset yang jelas kehalalannya, dan terdiri dari praktik layanan (khadamat) yang terhindar dari praktik riba, dan kegiatan produksi yang jelas kehalalannya.

Saham tersebut diterbitkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip syariah sebagaimana difatwakan oleh DSN-MUI Nomor 40/DSN-MUl/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal dan Fatwa DSN-MUI Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek.

Alhasil, segi kehalalannya tersebut bersifat bisa dijamin berdasarkan prinsip syariah ini, antara lain: terhindar dari transaksi riba, jahalah (ketidaktahuan), maisir (judi), gharar (spekulasi/penipuan), dlarar (merugikan), ghabn (pengelabuan), dan berbagai praktik lainnya yang dilarang oleh syara’.

Pasar modal merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan seiring praktik penggalian dana untuk pendirian sebuah usaha adalah harus dilakukan dengan menggunakan syirkah musahamah yang disebut-sebut sebagai derivasi/turunan dari syirkah ‘inan. Padahal sebenarnya, berdasarkan kajian kita pada waktu yang lalu, sejatinya itu sulit untuk dikategorikan sebagai syirkah ‘inan. Alasannya, karena setiap pihak yang terlibat dalam akad syirkah, tidak bisa ikut bekerja bersama-sama di dalamnya. Pekerjaan hanya dilakukan oleh satu atau dua person saja yang menduduki komisaris utama, atau direksi. Praktik syirkah musahamah (equity crowdfunding) sendiri dibolehkan karena faktor tarjihat dan menempati derajat dlarurah li al-hajah.

Saham merupakan surat berharga yang menyatakan komposisi kepemilikan bersama (al-hishat al-sya-i’ah) atas suatu aset sebuah perusahaan yang mana kepemilikan tersebut tidak bisa ditetapkan mana bagian pihak satu dan mana bagian pihak lainnya. Jadi, aset perusahaan ini ditempatkan layaknya harta syuyu’, yaitu harta kepemilikan bersama dan tidak bisa dibagi. Dalam batas ketentuan syara’, setiap hishah kepemilikan aset syuyu’ oleh seseorang, bisa dijual dan diakuisisi oleh pihak lain dengan syarat disetujui oleh mitra lainnya. Proses akuisisi ini dikenal dengan istilah akad syuf’ah.

Syuf’ah secara syara dimaknai sebagai hak menguasai secara paksa dan berlaku tetap atas pemilik lama ke pemilik baru yang disebabkan kepemilikan bersama untuk tujuan menghindari kerugian.

Kebolehan praktik syuf’ah ini dibatasi dengan ketentuan sebagai berikut:

“Syuf’ah itu hukumnya wajib penyampuran harta dengan percampuran sempurna, dan bukan sekadar percampuran jiwar (tidak sempurna) dan terjadi pada barang yang bisa dibagi. Syuf’ah pada barang yang tidak bisa dipindahkan bisa berlaku atas bumi, kebun atau sejenisnya.”

Dengan mencermati ibarat di atas, maka pada dasarnya menjual bagian/komposisi hak milik atas aset perusahaan kepada pihak lain, hukumnya adalah boleh secara syara’.

Masalahnya kemudian, bagaimana bila komposisi saham yang hendak dibeli itu memiliki produk layanan yang mencampur antara penghasilan halal dan haram? Di sini, para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukum kebolehannya.

Pertama, menurut ulama mazhab Maliki, yang diwakili oleh al-Alamah ad-Dasuqi, hukumnya haram bila pembeli saham tersebut berkeyakinan bahwa penghasilan perusahaan penerbit efek (saham) adalah 100% haram. Sebab menjual harta haram adalah dilarang. Demikian halnya dengan membelinya.

“Orang yang semua hartanya terdiri dari harta haram,…., maka ia dicegah dari menggunakan harta itu dalam mu’amalah dan utang piutang (mudayanah). Ia juga dicegah dari melakukan penyaluran yang bersifat hartawi dan selainnya.”

Kedua, menurut Ibnu Qudamah al-Maqdisi menjelaskan bahwa boleh jika pembeli saham meyakini bahwa pendapatan perusahaan penerbit efek itu adalah halal, dan haram bila meyakini bahwa sumber pendapatan itu diperoleh dari harta haram. Artinya, dalam hal ini, hukum kebolehan tergantung pada pengetahuan dari pembeli saham. Jika pengetahuan itu berada di antara keduanya (syubhat), maka solusinya, komposisi pendapatan yang diduga dari perkara haram dikeluarkan dari harta milik pembeli saham, baik dengan jalan shadaqah atau menasarufkan ke maslahah umum.

“Bila seseorang membeli harta orang lain yang mayoritas hartanya merupakan harta haram, misalnya seperti harta seorang pemimpin yang telah berbuat aniaya (dhalim), maka jika dia mengetahui bahwa barang yang dijual tersebut merupakan harta halal, maka halal pula membelinya. Dan apabila ia tahu bahwa barang yang dijual itu adalah haram, maka haram pula harta itu.”

Pendapat ini senada dengan pendapatnya Ibnu Nujaim, salah satu ulama otoritatif dari mazhab Hanafi. Ibnu Nujaim menyatakan:

“Apabila terjadi percampuran antara halal dan haramnya harta, sementara tidak bisa membedakan keduanya, maka tidak bisa tidak dalam kondisi seperti ini untuk mempertimbangkan kadar harta haram itu sebagai yang mayoritaskah, atau minimalkah, atau samakah. Atau setidaknya menurut nisbah yang tidak diketahui dari keduanya. Oleh karenanya, selagi kadar haram itu tidak lebih banyak dari mayoritas harta, maka boleh bermuamalah dengannya, karena bagaimanapun secara dhahir, hak kepemilikan manusia itu adalah apa yang ada ditangannya. Tidak boleh beralih dari sesuatu yang dhahir (jelas) kecuali adanya kepastian dalam pengetahuannya atau berdasar prasangka yang benar. Oleh karenanya pula, hal semacam ini tidak akan pernah bisa dilakukan tanpa bisanya membedakan harta yang haram dari yang halal atau mayoritas dari keduanya dari sisi kehalalannya.”

Ketiga, menurut Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, hukum membeli saham perusahaan efek yang pendapatannya bercampur antara halal dan haram adalah diperinci yaitu: 1) hukumnya boleh yang disertai kemakruhan; dan 2) boleh secara mutlak. Beliau Syekh Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan:

“Apabila harta haram itu yang menduduki mayoritas, maka hukum asal bermuamalah dengan pihak sedemikian ini adalah boleh yang disertai dengan kemakruhan. Namun apabila karena meninggalkan muamalah itu justru bisa menyebabkan salah satu pihak jatuh dalam kesulitan atau kondisi memprihatinkan atau apabila kondisi bermuamalah dengan pemilik harta haram itu sudah merupakan ‘ammati al-balwa (tidak bisa tidak karena sudah menjadi hal yang umum), maka bermuamalah dengan pemilik mayoritas haram haram adalah boleh tanpa adanya kemakruhan. Mengapa? Karena bermuamalah dengan harta haram dalam kondisi ini menduduki posisi dhan (prasangka). Sementara kesulitan dan kondisi balwa merupakan sesuatu yang pasti (bila ditinggalkan). Oleh karenanya sesuatu yang bersifat pasti harus didahulukan dibandingkan prasangka. Sebagaimana hal ini merupakan yang disinggung dalam qaidah fikih islami sebagai “apabila terjadi pertentangan dua mafsadah maka yang harus dihindari pertama kalinya adalah mafsadah yang terbesar dalam menimbulkan kerugian sembari tetap berusaha mencari solusi dlarar yang paling ringan dari kedua mafsadah itu.”

Alhasil dengan menimbang sejumlah ta’bir di atas dan menimbang peran perusahaan penerbit efek sebagai yang urgen dalam perekonomian nasional maka solusi keluar dari ikhtilaf (perbedaan pendapat ulama) adalah mengambil hukum kebolehan sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Jalaluddin as-Suyuthi di atas. Adapun sebagai langkah kehati-hatian maka membeli efek dari perusahaan yang jelas-jelas menjalankan bisnis halal adalah sebuah pilihan yang bijak. Wallahu a’lam bish-shawab

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 6

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?