Banyak orang sering menyamakan leasing dengan kredit. Padahal, kedua akad ini sangat berbeda secara teoritis. Bahkan, tenaga marketing dari perusahaan leasing (finance) pun kadang salah mengartikannya, sehingga konsumen pun ikut salah paham. Akibatnya, leasing dipahami sebagai kredit dan sebaliknya, hanya beda pihak penagihnya saja.
Salah satu contoh penyimpangan adalah kasus-kasus keganasan debt collector. Karena debt collector rata-rata dari perusahaan finance, maka ini berkaitan dengan leasing. Jadi, ada apa dengan leasing saat ini hingga perlu adanya debt collector?
Penting untuk melepaskan persepsi tentang leasing dan kembali ke teori asal bagaimana leasing seharusnya dipraktikkan. Tanpa dasar teoritis, sulit membedakan mana praktik leasing dan mana praktik kredit. Menghukumi sesuatu tidak sebagaimana idealitasnya sama dengan menghukumi persepsi sendiri, bukan realitas.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran berkala.
Lessee merupakan perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal. Barang modal tentu ada pemiliknya, yaitu lembaga finance (lessor). Status penggunaan barang milik finance oleh lessee adalah menyewa (ijarah).
Misalnya, sebuah maskapai penerbangan membutuhkan pesawat tambahan untuk memenuhi rute penerbangan. Karena keterbatasan dana, maskapai menyewa pesawat dari perusahaan lain dengan membayar ongkos sewa (ijarah) yang ditetapkan selama 1 tahun atau berdasarkan jumlah tempat duduk penumpang setiap kali penerbangan (akad ju’alah).
Contoh lainnya adalah praktik jasa rental mobil. Mobil yang direntalkan biasanya bukan milik perusahaan rental tetapi milik orang lain yang disewakan kepada perusahaan rental untuk melangsungkan usahanya. Pemilik mobil mendapatkan income setiap kali mobilnya digunakan, atau pihak rental menyewa mobil tersebut setiap bulan dengan besaran tertentu.
Namun, belakangan akad ini mengalami perubahan sejak diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Dalam POJK ini, leasing menjadi bagian dari perusahaan pembiayaan dan tidak lagi dimasukkan ke dalam kelompok akad sewa guna usaha.
Leasing dalam konteks POJK ini diartikan sebagai pembiayaan barang. Umumnya, akad pembiayaan adalah akad utang-piutang di mana barang modal yang digunakan oleh konsumen (lesee) memiliki status sebagai barang yang dibantu pembeliannya oleh lessor (finance). Sebagai pihak yang dibantu, lessee punya utang kepada lessor.
Ketika leasing dimaknai sebagai sewa guna usaha, barang modal masih menjadi hak milik dari lessor dan lessee hanya berhak atas pemakaiannya untuk membantu memenuhi kebutuhan barang untuk kegiatan usahanya. Namun, ketika berubah menjadi akad pembiayaan, hak kepemilikan atas barang modal menjadi ada pada konsumen dan pembayaran tambahan dapat menyeret lessee ke dalam akad riba qardli atau riba nasiah.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan produk hukum yang mengatur leasing secara terpisah dari produk pembiayaan. Leasing harus mampu menjawab tantangan masyarakat akan kebutuhan kepemilikan barang modal tanpa menyeret mereka ke dalam praktik riba yang membahayakan.
Beberapa fuqaha kontemporer mewacanakan produk akad sewa beli atau ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT). Produk ini diawali dengan perjanjian sewa guna barang modal hingga masa tertentu dan diakhiri dengan pemberian hibah barang kepada lessee/konsumen.
Menyatukan leasing ke dalam produk peraturan yang mengatur perusahaan pembiayaan secara fikih justru membahayakan segi kehalalan aktivitas muamalah masyarakat pengguna jasa leasing itu sendiri. Mereka bisa terseret dalam pusaran riba qardli dan riba nasiah yang rawan bagi terjadinya praktik kezaliman.
Kasus debt collector adalah bukti nyata penyalahgunaan promosi leasing sebagai promosi perkreditan sehingga berujung adanya pihak yang terzalimi. Perlu ada pemisahan produk peraturan antara leasing dan jasa perkreditan atau pembiayaan agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat.