- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tantangan dan Ketentuan Kehalalan Produk Daging Impor di Indonesia

Google Search Widget

Biaya produksi unggas di Indonesia terbilang mahal, berdasarkan laporan sejumlah pelaku peternakan. Akibatnya, penjualan produk hasil peternakan mengalami fluktuasi dan diliputi keluhan atas kerugian yang dialami peternak. Konsumen juga merasakan dampaknya dengan harga produk ayam yang tinggi di pasaran. Mahal tidaknya produk tersebut tentu berbanding lurus dengan biaya produksinya.

Pemerintah melalui Kementerian Peternakan (Kementan) pernah menyampaikan rencana impor daging dari Brasil ke Indonesia. Namun, hal ini direvisi kembali mengingat permasalahan di WTO (World Trade Organization) dan penolakan dari para peternak perunggasan. Meskipun begitu, fokus utama kita adalah mengulas sisi kehalalan produk daging impor.

Negara mana pun di dunia tidak bisa lepas dari hubungan bilateral ekspor-impor, termasuk bahan makanan. Namun, permasalahan muncul ketika negara tersebut mayoritas penduduknya Muslim, sementara produk yang diimpor adalah daging hewan yang harus memenuhi standar kehalalan syariah. Pertanyaannya, siapa yang menyembelih hewan tersebut? Bagaimana proses pengolahannya? Apakah sudah sesuai dengan standar syariah?

Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Status impor produk daging tidak terkait dengan tingkat kedaruratan, karena stok produk peternakan dalam negeri masih mencukupi. Kehalalan suatu produk bagi masyarakat Muslim tidak hanya ditentukan oleh jenis binatang yang dikonsumsi, tetapi juga cara penyembelihannya. Negara asal pengimpor daging unggas seperti Brasil, mayoritas penduduknya adalah Katolik dan Protestan, dengan Muslim hanya sekitar 0,01%.

Pertanyaan mengenai kehalalan produk daging ayam impor dari Brasil menjadi penting. Produk daging dari Brasil juga dinikmati oleh negara-negara di Asia Tengah dan bahkan Arab Saudi. Untuk menjawab hal ini, penting untuk memahami batas-batas kehalalan produk daging impor dari sisi fikih.

Kunci kehalalan produk dapat ditemukan dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj. Daging halal harus berasal dari wilayah yang memiliki pihak yang halal sembelihannya, dan informasi mengenai cara penyembelihan ini bisa diterima meskipun berasal dari non-Muslim.

Sumber informasi yang bisa digunakan untuk menyatakan kehalalan produk juga dibahas dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin. Informasi dari pihak fasiq dapat diterima dalam konteks tertentu, seperti penyembelihan hewan menurut syariah.

Jenis informasi kehalalan hewan yang diimpor juga dijelaskan dalam kitab Hasyiyah I’anatu al-Thalibin. Jika ada keraguan mengenai siapa yang menyembelih atau asal daging tersebut, informasi dari pihak fasiq bisa diterima jika mereka menyatakan hewan tersebut disembelih secara syar’i.

Kriteria penyembelih produk hewan yang diimpor dijelaskan dalam kitab Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj. Sembelihan seorang kafir dzimmy (kitaby) dianggap halal berdasarkan istishab untuk menjaga agar dakwah Muslim tetap berjalan di negara asal daging impor.

Jenis hewan yang dijadikan produk impor juga penting untuk diketahui. Dalil asal kehalalan suatu produk bergantung pada jenis hewan yang diproduksi. Jika berasal dari hewan halal, maka secara umum produk tersebut adalah halal.

Dalam konteks daging impor dari Brasil atau negara lain yang mayoritas non-Muslim, daging tersebut harus berasal dari hewan yang secara dhahir ma’kul al-lahmi (halal dikonsumsi). Kehalalan produk bisa diperkuat dengan data bahwa negara asalnya terdapat penduduk Muslim dan mayoritas penduduknya adalah kafir kitaby (Kristen Katolik dan Protestan).

Semua hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan lembaga yang memberikan informasi dan berkompeten dalam hal produk halal. Pendirian lembaga semacam ini sangat krusial bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?