Setiap menjelang Idul Fitri, pemandangan khas terlihat di sepanjang jalan kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Banyak orang berbaris dengan tumpukan uang rapi di hadapannya, menawarkan jasa penukaran uang kepada pengendara yang melintas. Mereka adalah para penjaja jasa penukaran uang yang keberadaannya selalu dicari menjelang lebaran.
Dilaporkan bahwa salah satu pelaku bisnis ini telah menekuni profesi tersebut selama kurang lebih 20 tahun. Uniknya, profesi ini tidak hanya dilakukan saat menjelang Idul Fitri, tetapi juga menjadi sumber mata pencaharian sehari-hari. Banyak pelanggan berasal dari rumah makan atau warung-warung kecil pinggir jalan yang memanfaatkan jasanya.
Saat memulai bisnis ini, modal awal yang dibutuhkan terhitung sedikit. Pelaku hanya mengeluarkan Rp3,7 juta dari kocek pribadinya. Dalam menjalankan bisnisnya, ia mengenakan biaya tambahan sebesar 10% dari jumlah uang yang ditukarkan. Misalnya, untuk menukar uang Rp500 ribu, harus membayar Rp550 ribu. Untuk menukar Rp1 juta, harus membayar Rp1,1 juta.
Dalam sehari, pelaku bekerja dari pukul 7 pagi hingga 6 sore dengan menyiapkan uang sebesar Rp500 juta. Uang tersebut terbagi dalam pecahan mulai dari Rp2.000 hingga Rp20.000 yang dibawa dalam tas ransel besar. Keuntungan yang diperoleh berkisar Rp3 juta hingga Rp5 juta per hari.
Ada juga pihak lain yang hanya memanfaatkan momen Idul Fitri untuk menjalankan bisnis ini dan tidak menjadikannya sebagai mata pencaharian utama. Mereka membuka jasa penukaran uang di rumahnya dari selepas maghrib hingga menjelang tengah malam dengan tarif bervariasi tergantung pecahan uang yang ditukarkan. Misalnya, untuk menukar Rp1 juta dengan pecahan Rp2.000 atau Rp5.000, biaya yang dikenakan adalah 10%. Namun, untuk pecahan Rp10.000 atau Rp20.000, biayanya hanya 5%. Keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp3 juta jika sedang ramai dan tidak lebih dari Rp2 juta jika sepi.
Permasalahan fiqih muncul terkait status hukum bisnis penukaran uang ini. Dalam berbagai pembahasan, bisnis ini hanya dibolehkan karena alasan dlarurah lil-hajah (kebutuhan mendesak). Kebolehan ini timbul karena ada pihak yang membutuhkan uang pecahan guna menghadapi momen lebaran, seperti memberi uang saku kepada anak-anak atau menyedekahkan kepada fakir miskin.
Namun, jika bisnis ini dijadikan sebagai mata pencaharian utama, praktik tersebut bukan lagi dilandasi oleh illat dlarurah lil-hajah, melainkan lebih dekat kepada profesi yang memanfaatkan kebutuhan pemilik toko besar atau warung kecil terhadap uang recehan untuk keuntungan pribadi.
Secara etika bisnis, mengais keuntungan dari penukaran uang semacam ini menjadi tanda tanya besar. Uang sebagai komoditas ribawi diperlakukan tidak sebagaimana hikmah diciptakannya uang untuk bertransaksi. Imam al-Ghazali rahimahullah menyatakan bahwa memperlakukan uang tidak sebagaimana fungsinya merupakan perilaku zalim.
Kesimpulan hukum dari para fuqaha menyatakan bahwa praktik bisnis penukaran uang dengan selisih nominal dibolehkan karena momen insidental seperti lebaran dan kebutuhan penukaran untuk aksi sosial, bukan konsumtif pribadi. Namun, menjadikan praktik ini sebagai profesi dengan selisih nominal secara terus-menerus adalah haram menurut syariat karena menabrak hikmah larangan memperdagangkan uang dan termasuk perilaku menzalimi pihak lain.
Hukum keharaman ini berlaku untuk profesi penukaran uang dengan selisih nominal dari jenis mata uang yang sama (misalnya rupiah dengan rupiah). Wallahu a’lam bi al-shawab.