Setelah umat Muslim menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan, kewajiban berikutnya adalah menunaikan zakat fitrah. Namun, memaknai zakat sebatas kewajiban umat Muslim saja tampaknya belum cukup. Agar mampu memahami dan merasakan esensi zakat itu sendiri, ada baiknya kita menyimak bagaimana Imam Ghazali menjelaskan hakikat zakat dalam Ihya ‘Ulumiddin-nya.
Dalam Islam, zakat merupakan salah satu fondasi (rukun) agama, tepatnya rukun ketiga setelah mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan shalat. Dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
Artinya, “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur [24]: 56)
Secara eksplisit, ayat di atas menggunakan kata perintah, wa atuzzakah (tunaikanlah zakat), yang menunjukkan arti wajib.
Menurut Syekh Abdurrahman as-Sa’di (w. 1956), ayat di atas menunjukkan perintah ketaatan yang sempurna. Zakat merupakan ketaatan dalam bentuk harta guna memenuhi hak sesama manusia. Sementara perintah sebelumnya adalah shalat, ketaatan untuk memenuhi hak Allah. Penggabungan dua hak ini (hak Allah dan hak sesama manusia) merupakan bentuk ketaatan yang sangat agung (lihat Tafsir as-Sa’di, juz 1, hal 573).
Seorang ulama sufi, Imam Ghazali, tidak memandang ibadah sebagai kewajiban yang selesai ketika sudah ditunaikan begitu saja. Dengan pandangan fiqih tasawufnya, Al-Ghazali selalu menawarkan perenungan-perenungan setiap laku ibadah dan menyelami esensi di baliknya. Hal ini juga dilakukan Al-Ghazali dalam praktik zakat.
Zakat merupakan ibadah harta. Artinya, ibadah yang dalam praktiknya melibatkan pengeluaran harta yang telah ditentukan besarnya. Berbeda dengan shalat yang merupakan ibadah badaniyyah (ibadah dengan tubuh), zakat dikategorikan sebagai ibadah maliyyah (ibadah kehartaan).
Mengapa zakat yang bersifat ‘kehartaan’ masuk dalam jajaran rukun Islam? Bukankah Islam adalah agama yang tidak materialistik? Inilah pertanyaan yang dimunculkan oleh Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin-nya (lihat Ihya ‘Ulumiddin, cetakan Al-Haramain, juz 1, hal 214).
Setidaknya menurut Al-Ghazali, ada tiga alasan mengapa zakat dikategorikan sebagai salah satu rukun Islam.
Pertama, zakat merupakan wujud totalitas kecintaan seorang hamba kepada Allah swt. Rukun Islam pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat yang merupakan komitmen atas ketunggalan Allah swt. Untuk menyempurnakan pengesaan terhadap Allah, seorang hamba harus betul-betul menunggalkan Allah swt dalam hatinya. Sebagaimana kita tahu, hal yang paling dicintai manusia di dunia adalah harta. Oleh karena itu, zakat yang dalam praktiknya ‘melepaskan sebagian harta’ merupakan bentuk pemurnian ketauhidan terhadap Allah swt. Dengan mengeluarkan harta, seorang hamba telah melepaskan sesuatu yang dicintainya sehingga dalam hatinya hanya ada Allah semata.
Kedua, membersihkan diri dari sifat kikir (pelit). Salah satu ciri-ciri orang yang kikir adalah enggan mendermakan harta. Baginya, harta dikumpulkan hanya untuk kepuasan diri semata. Islam mencela sifat kikir ini. Dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Artinya, “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)
Menurut Al-Ghazali, sifat kikir bisa diobati dengan memaksakan dan membiasakan diri untuk mendermakan harta. Dan zakat merupakan salah satu cara untuk melakukan itu.
Ketiga, sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt. Al-Ghazali membagi nikmat menjadi dua yaitu nikmat anggota badan dan nikmat harta. Cara mensyukuri nikmat anggota badan adalah dengan ibadah badaniyyah seperti melaksanakan shalat. Sementara cara mensyukuri nikmat harta adalah dengan mengeluarkan zakat. Lebih dari itu, menurut Al-Ghazlai, zakat bukan sebatas bentuk syukur tetapi juga sebagai wujud kasih sayang terhadap orang-orang yang membutuhkan.
Penjelasan Imam Ghazali di atas cukup mendewasakan cara kita beribadah. Dalam hal ini adalah menunaikan kewajiban zakat. Zakat bukan sebatas menggugurkan kewajiban sebagai seorang Muslim tetapi lebih dari itu, zakat memiliki esensi dan nilai-nilai luhur yang perlu ditanamkan dalam diri setiap Muslim.