Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia baru-baru ini melaporkan bahwa tingkat pengangguran usia muda di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN. Indonesia diperkirakan menyumbang kurang lebih 25% dari total pengangguran di ASEAN. Sisanya ditempati oleh Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Thailand yang masing-masing menyumbang angka di kisaran 10-15%. Data ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk menciptakan lapangan kerja yang menyasar penduduk usia muda.
Menurut Direktur Eksekutif CORE, di masa pandemi ini lonjakan pengangguran justru terjadi di kalangan generasi muda yang terdidik. Asumsi umum adalah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin kecil potensi pengangguran. Namun, ini tidak terjadi di Indonesia saat ini. Pandemi membuat banyak orang-orang berpendidikan tinggi justru menjadi menganggur, mengindikasikan adanya masalah dalam penciptaan lapangan kerja.
Indikasi ini semakin jelas jika tingkat pengangguran dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Jumlah pengangguran lebih tinggi daripada data kemiskinan, menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam ekonomi.
Pemerintah telah meluncurkan beberapa program bantuan sosial atau bantuan langsung tunai lewat Kartu Pra-Kerja. Namun, berdasarkan data yang disajikan oleh CORE Indonesia, bantuan tersebut tampaknya tidak tepat sasaran. Banyak penerima bantuan tetap menganggur dan tidak menggunakan bantuannya secara produktif.
Laporan riset tersebut merekomendasikan bahwa akan lebih efektif jika pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan daripada menyalurkan bantuan dalam bentuk tunai. Pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja dengan gelar pendidikan tinggi.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan bahwa sekitar 29,12 juta tenaga kerja di Indonesia terdampak pandemi Covid-19. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per 9 April 2021 menunjukkan 2,56 juta orang terpaksa menjadi pengangguran akibat dampak pandemi. Selain itu, sekitar 760.000 orang dari sektor bukan angkatan kerja juga turut terdampak, serta 1,77 juta orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara akibat pembatasan karena corona.
Islam dan Generasi Angkatan Kerja
Islam adalah agama yang bersifat universal dan tidak hanya mengatur aspek ukhrawi tetapi juga duniawi. Syariat Islam memberikan panduan mengenai cara bekerja yang baik dan mendapatkan rezeki yang halal. Al-Quran dan hadits juga memberikan arahan tentang pentingnya bekerja keras untuk menghidupi keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa tangan pemberi memiliki derajat lebih tinggi daripada penerima. Hadits ini mengisyaratkan agar angkatan kerja Muslim tidak mengandalkan bantuan sosial dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Syara’ juga melarang pemanfaatan bantuan sosial untuk keperluan yang tidak produktif. Bantuan pemerintah seperti Kartu Pra-Kerja harus digunakan sebagai stimulus untuk bekerja dan bukan untuk konsumsi semata. Ulama seperti Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa bantuan sosial harus disalurkan kepada pihak yang membutuhkannya dan dapat membangun kemaslahatan umum.
Berdasarkan keterangan tersebut, bantuan lewat Kartu Pra-Kerja seharusnya disalurkan untuk kepentingan produktif sehingga dapat membangun kemaslahatan bagi penerima dan orang di sekitarnya. Penyaluran bantuan sosial yang tidak mengarah pada tujuan produktif dapat berujung pada keharaman menerimanya.
Kita bersyukur sekarang ada Kementerian Investasi. Harapan besar dari kementerian ini adalah selain menanggulangi pengangguran, juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat terkait investasi, terutama bagi penerima Kartu Pra-Kerja. Edukasi ini penting agar bantuan sosial tidak hanya digunakan untuk konsumsi tetapi juga untuk investasi produktif dan terhindar dari praktik-praktik investasi bodong.
Wallahu a’lam bish shawab.