Ibadah puasa Ramadhan yang diwajibkan pada orang-orang yang beriman dijelaskan secara garis besar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183 sampai 187. Ayat tersebut menguraikan peraturan-peraturan yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung mengenai puasa di bulan Ramadhan. Tujuan puasa adalah untuk membentuk insan muslim menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, yang senantiasa mentaati perintah Allah s.w.t. dan menjauhi segala larangan-Nya.
Setiap manusia yang bertakwa akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta meraih kesuksesan maksimal dalam kehidupannya. Bila puasa Ramadhan dikerjakan secara sungguh-sungguh, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah, baik yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya ataupun yang berkaitan dengan etika berpuasa, pasti akan membentuk muslim menjadi orang-orang yang berkualitas, yang selalu memperoleh bimbingan dan ridha Allah s.w.t.
Melaksanakan puasa Ramadhan sesuai dengan bimbingan syariat Islam dan dihayati secara mendalam akan menanamkan sifat kepatuhan dan kepasrahan yang menyeluruh pada setiap insan muslim terhadap Allah s.w.t. Kepatuhan dan kepasrahan ini merupakan langkah awal yang sangat menentukan untuk meraih derajat takwa. Sikap takwa kepada Allah s.w.t. merupakan kumpulan segenap kebaikan dan dasar segala keutamaan dalam kehidupan manusia.
Segala perintah dan larangan yang disebutkan dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah yang diperuntukkan bagi orang-orang mu’min selalu ditekankan pengaruhnya yang bersifat kerohanian dan sekaligus membentuk sikap mental. Dengan mentaati segala perintah Allah dan menghindari segala larangan-Nya, manusia akan memiliki sikap hidup yang baik dan terpuji dalam kehidupan lahir dan batinnya. Ini merupakan salah satu sarana untuk menuju takwa, yang menjadi tujuan akhir dari ibadah puasa.
Manusia yang bertakwa merupakan wujud dari orang-orang mu’min yang jujur, terpercaya, memiliki keberanian, tabah dan sabar, dapat menjaga diri dari keburukan, bersikap adil dan pemaaf terhadap sesama, pengasih dan penyayang serta memiliki jiwa yang kokoh dan kepribadian yang kuat.
Agama Islam memandang bahwa sifat-sifat normatif ini merupakan syarat yang harus dimiliki orang-orang yang beriman dan sekaligus dibuktikan dengan tindakan nyata. Ketakwaan yang dimiliki seseorang atau generasi tidak bisa hanya diwujudkan dengan pernyataan-pernyataan, perkataan-perkataan yang baik, nasihat-nasihat yang menarik hati dan mengharukan, tetapi harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari pada praktek muamalah dan perilaku anggota masyarakat.
Beranjak dari kenyataan tersebut, tidaklah heran bila pengaruh yang ditimbulkan dari ibadah puasa adalah ketakwaan yang luhur, di dalamnya terdapat nilai ketabahan dan kesabaran. Dengan melaksanakan ibadah puasa, seorang muslim berlatih untuk bersikap tabah dan sabar, menahan diri dan mengendalikan dorongan kehidupan, baik dorongan dari perut, dorongan seksual ataupun dorongan hawa nafsu.
Karena itu, manusia yang dapat menabalkan dirinya dengan ketabahan dan kesabaran akan memperoleh balasan pahala yang sangat besar dari Allah s.w.t. Demikian agungnya balasan itu sehingga tidak mungkin dapat dihitung secara sistematis. “Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu’. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala mereka tanpa batas.” (QS. al-Zumar, 39:10).
Keagungan ibadah puasa dalam bulan Ramadhan dapat dilihat dengan jelas bila memperhatikan beberapa hadis Nabi s.a.w., antara lain disebutkan bahwa semua ibadah adalah untuk orang yang mengerjakannya, sedang ibadah puasa adalah untuk Allah s.w.t. Dijelaskan firman-Nya dalam hadis Qudsi: “Allah s.w.t. berfirman: ‘Semua amal ibadah manusia adalah baginya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan langsung membalasnya.’” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 1771). Ibadah puasa merupakan perisai yang dapat melindungi para pelakunya dari berbagai ancaman dan rongrongan yang merusak jiwa dan kepribadiannya.
Sebagai ibadah yang dapat membentuk dan mendidik mental manusia, puasa pada hakikatnya merupakan latihan untuk dapat mengendalikan diri dari sikap tercela seperti takabbur, ujub, riya, hasad atau dengki, khuyala atau pamer kemewahan dan sikap tercela lainnya. Dalam melaksanakan perbuatan baik dan amal terpuji, seorang muslim diarahkan agar tidak memamerkan perbuatan baik tersebut sehingga dapat menimbulkan riya; sebaliknya kita diarahkan agar merahasiakan perbuatan baik itu sehingga menjadi ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah s.w.t. dan tidak mencari pujian orang lain.
Mengenai hal ini, Nabi s.a.w. menjelaskan bahwa di antara mereka yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat adalah: “…Mereka yang bersedekah kemudian merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (Hadis Sahih, riwayat al-Bukhari: 620, Muslim: 1712).
Ketika menjalankan ibadah puasa, kita juga diperintahkan untuk berlatih menghilangkan sifat hasad atau dengki dan iri hati dari diri kita masing-masing. Sikap hasad atau iri hati berarti merasa senang saat orang lain terkena musibah dan merasa sakit saat orang lain mendapat kebahagiaan atau keberuntungan. Sikap hasad sangat tercela dalam pandangan ajaran Islam.
Sikap seperti itu akan merugikan diri sendiri dan merusak kesucian kalbu. Mereka yang memiliki sikap seperti ini akan tersiksa hidupnya baik lahir maupun batin. Nabi s.a.w. menggambarkan: “Sesungguhnya sikap dengki itu dapat merusak kebaikan-kebaikan seseorang bagaikan api membakar jerami” (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 4257 dan Ibn Majah: 4200). Karena sikap hasad, kebaikan seseorang bisa menjadi sirna sama sekali.
Selain sikap hasad atau dengki, sikap ujub atau membanggakan diri tidak kalah tercelanya. Bila seseorang telah terjangkit penyakit ini, ia akan senantiasa menganggap remeh orang lain dan merasa dirinya paling baik dan benar. Sikap seperti ini nantinya akan membentuk manusia-manusia angkuh, padahal sebenarnya manusia itu sama; satu dengan lainnya tidak banyak berbeda.
Bila ada yang memiliki kelebihan pada suatu aspek, ia memiliki kekurangan pada aspek lain dan sebaliknya. Wajarlah bila orang yang memiliki watak seperti ini digambarkan sebagai orang jahil karena ia tidak mampu memahami potensi dan kemampuan orang lain. “Cukup seorang manusia disebut bodoh apabila ia terlampau mengagumi dirinya sendiri.”
Setiap individu muslim diharapkan dapat meningkatkan kualitas puasanya. Untuk itu mari kita perhatikan sabda Nabi s.a.w.: “Bila salah seorang di antara kamu melaksanakan ibadah puasa, maka janganlah mengucapkan kata-kata kotor, tidak sopan atau menghina. Bahkan bila dicaci maki orang lain atau diajak berkelahi sekalipun, katakanlah: ‘Aku sedang berpuasa.’” (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 2016).