Islam, sebagai agama yang penuh dengan kerahmatan, menjamin kebebasan beragama bagi seluruh umat manusia. Tidak ada paksaan dalam beragama sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya, Al-Baqarah ayat 256: “La ikrâha fiddîn” (Tidak ada paksaan dalam agama). Namun demikian, jaminan kebebasan beragama ini menimbulkan kemusykilan besar karena dalam sumber-sumber syariat Islam dikenal adanya hukuman mati bagi orang yang murtad atau keluar dari agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Orang yang mengganti agamanya maka hukumlah mati dia’. (HR. Al-Bukhari)”
Mayoritas ulama fikih juga menyatakan bahwa orang murtad dihukum mati apabila enggan bertobat dalam waktu tertentu. Namun, sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Ali Jum’ah memiliki pandangan berbeda. Mereka menyatakan bahwa hukuman mati bagi orang murtad bukan semata-mata karena kemurtadannya, tetapi karena faktor lain seperti memerangi, membuat fitnah, dan kekacauan di tengah kaum muslimin, serta memprovokasi mereka agar keluar dari agamanya. Ada tiga argumentasi utama yang diajukan dalam hal ini.
Argumentasi pertama adalah bahwa pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, tidak semua orang yang jelas-jelas murtad dihukum mati. Sebagai contoh, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menghukum mati Abdullah bin Ubai dan teman-temannya yang melakukan penghinaan terhadap kaum muslimin. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam juga tidak menghukum mati Dzul Khuwaishirah At-Tamimi yang menuduhnya tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Selain itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menghukum mati orang yang menuduhnya melakukan nepotisme dalam kasus pembagian air irigasi di Harrah. Bahkan ketika seorang Arab Badui meminta pembatalan baiat keislamannya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menghukumnya mati.
Pada masa Khulafâ-ur Rasyidîn, khususnya di waktu pemerintahan Sayyidina Umar radhiyallâhu ‘anhu, beliau tidak menghukum mati orang-orang murtad dari kelompok Bakr bin Wail yang berbalik memerangi kaum muslimin. Sayyidina Umar justru memilih untuk membujuk mereka bertobat, dan jika tidak mau maka dihukum penjara.
Argumentasi kedua adalah berbagai ayat Al-Qur’an yang melarang pemaksaan dalam beragama, seperti:
“Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (Al-Baqarah: 256)
“Apakah kamu akan memaksa manusia sehingga mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Yunus: 99)
Argumentasi ketiga adalah ayat-ayat yang menjelaskan hukuman bagi orang murtad hanya menyebutkan terleburnya amal pelaku dan hukumannya di akhirat, tanpa menyebutkan hukuman mati di dunia:
“Dan siapa saja dari kalian yang murtad dari agamanya lalu ia mati dalam kondisi kafir, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)
Dari berbagai peristiwa dan ayat tersebut, para ulama kontemporer berpendapat bahwa hukuman mati bagi orang murtad tidak berkaitan dengan akidah semata. Maksud dari nash-nash hadits yang tegas menyatakan hukuman mati bagi orang murtad adalah karena pengkhianatan besar terhadap komunitas kaum muslimin, yang dalam undang-undang manapun penghianatan seperti itu dilarang.
Oleh karena itu, hukuman mati bagi murtad tidak dapat diterapkan dalam konteks kekinian. Keberadaan hukum tersebut dalam berbagai sumber syariat bukan berarti bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin dalam Islam. Wallâhu a’lam.