Ketika seseorang berpuasa, ia akan menahan diri dari makan dan minum. Dengan tidak makan dan minum, hawa nafsu (syahwat) akan terkendali. Jika nafsu terkendali, sulit bagi setan untuk menggoda manusia karena pintu utama bagi setan adalah hawa nafsu itu sendiri. Dengan terbebas dari godaan setan, ibadah pun lebih maksimal.
Dalam satu hadis, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Abdullah Ibnu Mas’ud ra. berkata: ‘Rasulullah saw bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq ‘Alaih)
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang pemuda yang sudah cukup umur untuk menikah pasti memiliki syahwat biologis yang bergejolak dalam dirinya. Jika belum mampu menikah, khawatir akan terjerumus dalam perzinaan. Maka, Rasulullah saw menganjurkan untuk berpuasa agar gejolak syahwat dalam dirinya bisa terkendali.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin (juz 3, hal. 85) menjelaskan beberapa faedah atau manfaat saat perut dalam kondisi lapar. Salah satu faedah terbesarnya adalah bisa menaklukkan hawa nafsu yang berpotensi menjerumuskan dalam perbuatan maksiat.
Menurut Al-Ghazali, sumber utama perbuatan maksiat adalah hawa nafsu dalam diri manusia. Sementara bahan bakar hawa nafsu itu sendiri adalah makanan. Dengan mengurangi konsumsi makanan, hawa nafsu akan meredup dan seseorang mampu mengendalikan dirinya. Jika seseorang mampu mengendalikan diri, maka ia mampu mengarahkan tubuhnya untuk melakukan kebaikan dan menghindari perbuatan maksiat.
Orang yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu ibarat seorang sopir yang mengendarai truk dalam keadaan mabuk. Ia tidak bisa mengendalikan arah ke mana truknya melaju, bahkan kecelakaan sangat mungkin terjadi. Sebaliknya, jika tidak mabuk, maka ia sadar dan bisa mengendalikan ke mana truknya harus melaju.
Salah satu faedah berpuasa adalah bisa mengangkat derajat manusia ke level yang lebih tinggi, setara dengan malaikat; makhluk yang sepanjang hidupnya didedikasikan hanya untuk beribadah kepada Allah swt.
Allah swt telah menciptakan malaikat, manusia, dan hewan. Ketiganya sama-sama makhluk Allah swt tetapi memiliki perbedaan. Malaikat diciptakan dan dianugerahi akal, tapi tidak diberikan nafsu. Oleh karena itu malaikat makhluk paling taat, mereka tidak memiliki kepentingan pribadi untuk memenuhi hawa nafsunya.
Hewan diciptakan dan dianugerahi nafsu tanpa akal. Oleh karena itu hewan tidak diperintahkan untuk beribadah karena tidak bisa memahami ajaran Islam.
Sementara manusia diciptakan dan dianugerahi kedua-duanya, akal dan nafsu. Oleh karena itu, manusia lebih mulia dari hewan karena memiliki akal, dan tidak bisa lebih mulia daripada malaikat karena ada nafsu dalam dirinya.
Suatu saat manusia bisa bertindak jauh melenceng dari nilai-nilai ajaran Islam, seolah ia tidak menggunakan akal yang telah Allah anugerahkan untuknya. Sehingga derajatnya turun selevel dengan hewan, bahkan lebih rendah lagi. Hewan bertindak bodoh wajar karena tidak punya akal, tapi jika manusia bertindak ceroboh itu tindakan kurang ajar; sudah diberi akal tapi tidak mau menggunakan.
Allah swt berfirman:
لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ
Artinya: “Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf [7]: 179)
Di sinilah peran ibadah puasa. Dengan berpuasa, seorang hamba mampu mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam dirinya sehingga semua tindakannya selalu dituntun oleh akal yang jernih, bukan dikendalikan oleh nafsu.
Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin menjelaskan tujuan dari berpuasa:
أن المقصود من الصوم التخلق بخلق من أخلاق الله عز وجل وهو الصمدية، والاقتداء بالملائكة في الكف عن الشهوات بحسب الإمكان فإنهم منزهون عن الشهوات. والإنسان رتبته فوق رتبة البهائم لقدرته بنور العقل على كسر شهوته ودون رتبة الملائكة لاستيلاء الشهوات عليه وكونه مبتلى بمجاهدتها، فكلما انهمك في الشهوات انحط إلى أسفل السافلين والتحق بغمار البهائم، وكلما قمع الشهوات ارتفع إلى أعلى عليين والتحق بأفق الملائكة.
Artinya: “Tujuan berpuasa adalah supaya bisa berakhlak sebagaimana sifat as-Shamad bagi Allah, juga agar manusia bisa mengikuti sifat-sifat malaikat, yaitu mengekang syahwat sebisa mungkin. Malaikat adalah makhluk yang terbebas dari syahwat. Level manusia sendiri berada di atas hewan karena dengan cahaya akal yang dimilikinya mampu menaklukkan syahwat. Namun di bawah level malaikat karena memiliki syahwat dan diuji untuk menaklukkannya. Jika ia terbuai oleh syahwatnya, levelnya akan turun setara dengan hewan. Sebaliknya, jika mampu menghancurkan syahwatnya maka levelnya akan naik setinggi-tingginya bersama golongan para malaikat.” (Ihya ‘Ulumiddin, juz 4, hal. 236)
Melalui penjelasan Al-Ghazali tersebut, dapat dipahami bahwa puasa memiliki peran penting dalam mengendalikan nafsu (syahwat) dalam diri manusia. Nafsu memang sudah fitrah manusia, tetapi kita masih diberikan kemampuan untuk mengendalikannya, salah satunya dengan berpuasa. Dengan begitu, kita bisa lebih dekat dengan Allah sebagaimana para malaikat yang hidupnya didedikasikan hanya untuk beribadah.