- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Proses Ijtihad yang Benar dalam Hukum Vaksin AstraZeneca

Google Search Widget

Pada berbagai kesempatan, guru kami di Ma’had Aly Situbondo, KH Afifuddin Muhajir, menyampaikan sebuah kaidah bahwa seorang mujtahid boleh salah dalam hasil akhirnya, namun harus benar dalam prosesnya. Seorang ulama dalam kapasitasnya sebagai mujtahid, yang menggali hukum baik dari nash (Al-Qur’an dan hadist) maupun dari sumber lain seperti maqashid asy-syari’ah, harus merujuk pada kaidah ijtihad tersebut.

Kaidah ini berawal dari sebuah hadist tentang ganjaran pahala bagi setiap yang berijtihad: dua pahala bagi yang ijtihadnya benar, dan satu pahala bagi yang ijtihadnya salah. Setidaknya, pahala diberikan karena ia telah berupaya. Ini menunjukkan bahwa amal ijtihad merupakan pekerjaan yang mulia. Bahkan jika hasilnya salah, tetap diapresiasi.

Isu yang belakangan ini ramai dibahas di berbagai media adalah isu tentang vaksin Covid-19 produk AstraZeneca. Hal ini berawal dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada 16 Maret, yang menyatakan bahwa menggunakan vaksin tersebut hukumnya haram karena dalam proses pembuatannya memanfaatkan tripsin babi.

Namun, keputusan Bahtsul Masail yang diadakan oleh Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) pada 25 Maret sore menghasilkan pandangan berbeda. Kegiatan tersebut dihadiri oleh fukaha serta beberapa tokoh penting seperti Direktur AstraZeneca Indonesia Risman Abudaeri, Kepala BPOM RI Penny Kusumastuti Lukito, dan peneliti Vaksin Merah Putih Aluicia Anita Artarini.

Dalam presentasinya, Anita menyimpulkan bahwa vaksin produk AstraZeneca bebas dari tripsin babi. Tahapan produksi yang dilakukan oleh Oxford-AstraZeneca tidak menggunakan tripsin hewani, melainkan dari jenis tumbuhan jamur. Hal ini juga dikuatkan oleh pengakuan direktur AstraZeneka sendiri, Risman Abudaeri.

Oleh karena itu, Bahtsul Masail memutuskan bahwa vaksin AstraZeneca adalah vaksin yang suci dan halal secara mutlak untuk disuntikkan. Kiai Afifuddin juga menyampaikan bahwa meskipun dibuat dari bahan najis sekalipun, dengan teori istihalah, bisa menjadi suci. Apalagi jika memang dari bahan yang suci. Rumusan ini disepakati oleh semua peserta Bahtsul Masail. Melihat perkembangan isu seputar vaksin AstraZeneca sampai saat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat sebaiknya menarik kembali fatwanya dan mengikuti hasil Bahtsul Masail tersebut, bila belum dilakukan.

Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pusat dalam hal ini bisa disebut sebagai produk pemikiran intelektual yang tidak tuntas karena menilai sesuatu tidak berdasarkan realitas yang ada. Tentu, hal ini sangat fatal dalam kajian ilmiah.

Sebenarnya, peristiwa ini adalah hal biasa dalam dunia ijtihad. Baik salah atau benar, tetap akan diganjar pahala. Namun, bila kebetulan salah, sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual dan kejujuran ilmiah, maka haruslah menarik kembali fatwa tersebut. Hal ini sering sekali ditemukan dalam berbagai literasi klasik. Ulama terdahulu secara tidak langsung meneladankan sikap ilmiah kepada generasi setelahnya.

Dalam Kitab Hasyiah I’anathut Thalibin (juz 2, hal. 383), Imam Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi (1300 H) menyebutkan bahwa dahulu guru mereka imam Az-Ziyadi berpendapat bahwa mengisap rokok saat berpuasa tidak membatalkan puasa karena waktu itu ia belum memahami hakikat rokok. Namun, ketika telah menyaksikan sendiri bekas dari tanaman tembakau yang dihisap, segera ia menarik fatwanya dan mengikuti pendapat bahwa rokok dapat membatalkan puasa.

Tradisi menarik kembali fatwa adalah hal lumrah di kalangan ulama salafuna as-shalih. Peristiwa serupa juga pernah terjadi antara dua imam besar, Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Sufyan bin Sa’id As-Tsauri. Mereka berdebat tentang status kesucian kulit bangkai yang telah disamak. Awalnya, Imam Syafi’i berpendapat bahwa kulit bangkai tidak bisa suci walau telah disamak. Berbeda dengan Imam Sufyan As-Tsauri yang berpendapat sebaliknya. Namun, setelah merenungi ulang pendapatnya, Asy-Syafi’i menarik fatwanya dan mengikuti pendapat Imam Sufyan. Imam Sufyan juga menarik pendapatnya dan beralih ke fatwa Imam Syafi’i yang pertama.

Dari peristiwa ini, ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil terutama bagi para santri di tengah masyarakat nantinya. Pertama, dalam berfatwa atau mengeluarkan satu hukum, tidaklah cukup hanya dengan memahami teks-teks Al-Qur’an dan hadist tetapi juga harus memahami konteks suatu peristiwa secara matang. Kedua, jangan terburu-buru dalam memutuskan hukum. Prinsip ini berkaitan erat dengan pemahaman konteks atau masalah. Dalam ilmu logika (manthiq), ini dikenal dengan istilah at-tasarru’ fil hukmi (terlalu mudah menghukumi), yang dibahas dalam bab asbabul khatha’ fit tafkir (faktor-faktor kesalahan berpikir).

Semoga tulisan singkat ini dapat mencerahkan. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?