Niat dalam shalat merupakan rukun yang pertama dan paling utama. Sebelum memasuki rukun-rukun lainnya, seorang mushalli (orang yang melaksanakan shalat) harus terlebih dahulu berniat melakukan shalat. Dalam kitab-kitab fikih, niat terdiri dari tiga komponen penting: al-qashdu (bermaksud mengerjakan shalat), at-ta’arrudh (menyatakan status kefarduan atau kesunnahan shalat tersebut), dan at-ta’yin (menentukan shalat yang dikerjakannya, seperti zuhur, asar, atau yang lain).
Niat adalah poros dan barometer utama segala aktivitas, termasuk shalat. Mulai dari ihwal keabsahan hingga urusan kualitas shalat yang dilakukan. Hal ini merujuk pada penggalan hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat masyhur, “innamal a‘mâlu binniyyât” (amal perbuatan itu hanya tergantung pada niatnya).
Untuk kewajiban berniat melakukan shalat, semua ulama sepakat. Meskipun terdapat perbedaan dalam hal teknis dan kapan seorang mushalli harus memasang niatnya. Namun, mengenai pelafalan niat, terdapat perbedaan pandangan. Menurut penganut mazhab Syafi’i, melafalkan niat shalat hukumnya sunnah karena sangat membantu terhadap kekhusyukan seseorang. Dalilnya menggunakan qiyas atau analogi hukum terhadap kesunnahan melafalkan niat haji dan umrah, dengan titik temu bahwa keduanya (haji dan shalat) sama-sama rukun Islam.
Hukum ini berdasarkan âtsâr as-shahâbah Sayidina Umar dalam kitab Syarh Ma’ânî al-Âtsâr karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad at-Thahawi yang berbunyi:
“Dari Rasulullah SAW, bahwa nabi pernah didatangi oleh utusan Tuhannya (malaikat Jibril), lalu menyampaikan kepada nabi, ‘Ucapkanlah umarah dalam haji’.”
Ini sejalan dengan keterangan dalam kitab Syarh al-Yâqût an-Nafîs karya habib Ahmad bin Muhammad bin Umar Asy-Syâthiriy:
“Kami menganalogikan (hukum kesunnahan melafalkan) niat shalat dengan niat haji, karena keduanya sama-sama rukun Islam. Demikianlah pendapat Syafi’i sentris (syafi‘iyul madzhab).”
Sementara sebagian ulama selain Syafi’iyah berpendapat bahwa melafalkan niat shalat itu termasuk laku bid’ah. Golongan ini berlandas pada hadist riwayat Sayidina Anas bin Malik yang berbunyi:
“Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, dan Umar, dan tiada lain yang kudengar kecuali ‘Allahu Akbar’.”
Hadist ini menjadi dalil kuat bagi segolongan ulama yang memandang lafal niat shalat sebagai amal bid’ah. Terbukti, setiap kali Anas bin Malik bermakmum, tak pernah mendengar mereka melafalkannya. Ibnul Qayyim al-Jauziyah sendiri sangat anti terhadap pendapat yang mengatakan sunnah. Namun, menurut sebagian ahli hadits, riwayat Anas bin Malik di atas adalah hadits yang bermasalah (al-mu’allal atau al-qadh).
Bahkan, sebagian ulama lainnya berusaha menengahi dua pendapat tersebut menggunakan pendekatan kombinasi antara dalil-dalil yang bertentangan (al-jam’u wattaufiq baina al-adillah al-muta’aridhah). Mereka mengatakan, sebagaimana yang ditulis habib Ahmad bin Muhammad bin Umar Asy-Syâthiriy di kitab dan halaman yang sama:
“Sebagian ulama berpendapat, ‘sayidina Anas tidak mendengar (suara nabi, Abu Bakr, dan Umar) yang melafalkan niat shalat, barangkali karena ia shalat di saf-saf bagian belakang’.”
Menyikapi silang pendapat di atas, ada beberapa ulama yang menilai kasus di atas secara lebih realistis. Semisal imam Hasan bin Ammar bin Ali al-Hanafi dalam kitabnya Marâqil Falah Syarh Matni Nuril Îdhâh menjelaskan:
“Pendapat dari sebagian guru kita yang mengatakan sunnah melafalkan niat (shalat) merupakan sebuah kesunnahan atau anjuran yang datangnya bukan dari Rasulullah SAW, akan tetapi merupakan anjuran mereka para guru (kepada sekalian muridnya), mengingat zaman yang tidak lagi sama (dengan kehidupan para tabiin) dan banyaknya faktor yang dapat menyita kekhusyukan umat setelah para tabiin.”
Walhasil, silang pendapat di atas sama-sama memiliki dalil dan argumentasinya masing-masing. Oleh karena itu, mengambil sikap hati-hati dan peka akan realitas umat saat ini tentu lebih baik dan bijaksana. Wallahu a’lam.