Dalam sejarah keagamaan Islam, peristiwa Isra’ dan Mi’raj menjadi momen penting yang mengilhami pembahasan mengenai kewajiban shalat lima waktu. Dalam kisah tersebut, terdapat perubahan signifikan jumlah shalat yang semula 50 waktu dalam sehari semalam menjadi lima waktu. Persoalan ini kemudian menjadi bahan refleksi ulama terkait hikmah dan kebijaksanaan di balik pengurangan tersebut.
Sebagaimana yang dikutip dari para ulama, termasuk Syekh Manna’ Al-Qaththan dan Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, pengurangan jumlah shalat tersebut diyakini sebagai bentuk ketinggian derajat Nabi Muhammad SAW di sisi Allah. Menariknya, meskipun Allah Swt. dalam ilmu-Nya yang azali telah mengetahui bahwa akhirnya kewajiban shalat hanya lima waktu, namun penetapan 50 waktu pada awalnya memiliki makna yang mendalam.
Syekh Al-Qaththan menjelaskan bahwa negosiasi jumlah shalat tersebut merupakan bagian dari rencana ilahi untuk menunjukkan kemuliaan Nabi melalui syafaatnya dalam memperoleh keringanan. Sementara itu, Syekh Al-Bujairimi menyoroti manfaat syafaat Rasulullah bagi umatnya, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana tergambar dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Pengurangan waktu shalat dari 50 ke lima waktu bukanlah sekadar perubahan rutin, melainkan simbol kepedulian dan kebesaran Rasulullah SAW. Dalam konteks ini, penawaran 50 waktu shalat pada awalnya bukanlah upaya yang sia-sia, melainkan manifestasi keagungan dan kemurahan hati Allah Swt. serta kedermawanan Nabi Muhammad SAW terhadap umatnya.
Dengan demikian, melalui analisis ini kita dapat lebih menghargai dan memahami betapa pentingnya ketinggian derajat Nabi Muhammad SAW dalam ajaran Islam, terutama terkait dengan kewajiban ibadah shalat lima waktu. Semoga pemahaman ini memberi inspirasi bagi kita dalam meningkatkan kualitas ibadah dan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.