Cashback, istilah yang tak asing lagi di dunia belanja online. Namun, tahukah Anda bahwa konsep ini juga memiliki sisi fiqih yang menarik untuk dipelajari? Dalam perspektif fiqih, cashback masuk dalam kategori akad ju’alah, di mana konsumen diberi imbalan berupa voucher atau potongan harga sebagai hasil dari promo yang dilakukan oleh marketplace.

Namun, belakangan muncul fenomena cashback yang berbeda dari yang biasa kita temui. Warung Cashback, sebuah entitas yang mempromosikan diri sebagai tempat mendapatkan cashback tanpa harus melakukan aktivitas apapun. Mereka menawarkan skema investasi dengan iming-iming keuntungan pasif yang menarik.

Bagaimana sebenarnya alur transaksi di Warung Cashback ini? Para anggota hanya perlu menyertakan modal dan menunggu komisi serta pengembalian modal setelah periode tertentu tanpa harus melakukan aktivitas apapun. Mereka juga diiming-imingi reward jika berhasil mengajak orang lain untuk bergabung.

Dalam skema keikutsertaan anggota, ada berbagai paket dengan biaya yang bervariasi serta pembagian level keanggotaan. Setiap anggota yang mendaftar akan mendapatkan produk senilai modal yang disertakan serta voucher cashback dan voucher belanja sesuai dengan besaran modal yang mereka setorkan.

Namun, perlu dicermati bahwa model bisnis seperti ini menimbulkan pertanyaan tentang keberlangsungan dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Bagaimana perusahaan membayar anggotanya dengan imbalan yang dijanjikan? Apakah ada potensi kejahatan atau money game dalam skema bisnis semacam ini?

Dengan demikian, penting untuk melakukan analisis mendalam terkait mekanisme bisnis Warung Cashback ini agar para calon investor dapat membuat keputusan yang lebih bijak. Ulasan selengkapnya mengenai potensi masalah fiqih dan bisnis pada cashback semacam ini akan dibahas pada artikel selanjutnya.