Dalam sistem hukum Islam, terdapat konsep penjaminan yang diatur dalam bab dlaman dan bab kafalah. Kedua konsep ini saling terkait, di mana kafalah merupakan bagian dari akad dlaman bersama dengan rahn (gadai). Rahn adalah bentuk penjaminan terhadap utang, sementara kafalah merupakan bentuk penjaminan terhadap pekerjaan.
Dalam mazhab Syafi’i, akad dlaman meliputi objek penjaminan yang terdiri dari barang, utang, dan pekerjaan. Meskipun penjaminan terhadap barang dan utang diterima secara umum, terdapat perbedaan pendapat mengenai penjaminan terhadap pekerjaan karena adanya unsur spekulatif, ketidaktahuan, dan bahkan judi.
Dalam konteks penjaminan terpidana, status terpidana tidak dapat dianggap sebagai barang, utang, atau pekerjaan. Sehingga, transaksi jual beli atau penyewaan status terpidana tidak sah menurut hukum Syari’ah. Meskipun demikian, dalam situasi tertentu di mana terpidana memerlukan kelonggaran untuk keperluan yang mendesak seperti berobat, diperlukan jaminan agar terpidana tetap terikat untuk tidak melanggar batasan yang ditetapkan oleh pengadilan.
Para ulama melakukan qiyas untuk menentukan jenis akad penjaminan yang sesuai dalam konteks penjaminan terhadap terdakwa. Beberapa mazhab menyatakan bahwa jaminan seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Umar radliyallahu ‘anhu ditempatkan dalam kategori kafalah bi al-nafsi atau kafalah bi al-fi’li. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai jenis jaminan yang tepat, terutama terkait dengan besaran utang yang harus ditanggung oleh pihak penjamin jika pihak yang dijamin melanggar ketentuan.
Jadi, meskipun penjaminan terpidana oleh pengacara termasuk dalam jenis akad penjaminan yang memiliki dasar dalam Islam, perlu dilakukan analisis mendalam sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang berlaku dalam mazhab-mazhab fiqih tertentu.