Marah merupakan gejolak emosi yang seringkali diekspresikan melalui perbuatan atau ekspresi untuk mencari kepuasan. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa marah membuat mereka terlihat lebih berwibawa, namun anggapan ini sebenarnya keliru. Pemahaman umum adalah bahwa orang yang sering marah justru cenderung membuat orang di sekitarnya menjauh karena takut akan potensi bahaya yang bisa terjadi.

Dalam salah satu hadits yang disampaikan oleh Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, beliau menegaskan pesan Rasulullah agar kita menjauhi sifat pemarah. Rasulullah secara tegas menyatakan, “Jangan marah!” sebagai nasihat yang diulang beberapa kali untuk menekankan pentingnya mengendalikan emosi tersebut.

Penulis Sayyid ‘Alwi Abu Bakar Muhammad As-Saqaf juga menjelaskan bahwa sifat kemarahan bisa disandarkan kepada dua hal: pertama, kemarahan yang berasal dari hak Allah merupakan bentuk keinginan untuk menyiksa, sedangkan marah yang berasal dari manusia lebih kepada ekspresi emosi dan perasaan ketika menghadapi hal yang tidak disukai.

Untuk mengatasi sifat pemarah, Sayyid ‘Alwi memberikan dua solusi. Pertama, dengan mencegah meluapnya kemarahan dengan menyadari dampak negatifnya dan menjaga jiwa agar tetap sabar. Kedua, dengan menghilangkan kemarahan melalui introspeksi diri, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, serta melakukan tindakan fisik seperti mandi atau berwudhu.

Dampak buruk dari sikap pemarah bisa sangat merugikan, mulai dari menciptakan permusuhan, memutuskan hubungan baik dengan orang lain, hingga menghalangi datangnya keberkahan rezeki. Oleh karena itu, Allah memberikan apresiasi kepada orang-orang yang mampu menahan amarah dan memberi maaf, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 134: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”