Dalam dunia transaksi bisnis, seringkali terjadi praktik yang mengarah pada kerugian bagi pihak-pihak yang kurang berpengalaman, terutama di kalangan masyarakat bawah. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah dalam praktik akad syirkah (kemitraan) yang berpotensi menimbulkan masalah serius.
Sebuah contoh kasus yang dapat dijadikan pembelajaran adalah ketika seorang pengusaha ingin mendirikan sebuah mal atau pusat perbelanjaan. Tanah yang ditemukan cocok untuk proyek tersebut ternyata milik seorang rakyat kecil. Untuk mengakuisisi tanah tersebut tanpa harus membelinya secara langsung, pengusaha menawarkan skema kerja sama berupa anjak modal kepada pemilik tanah.
Namun, di tengah pembangunan mal, pemodal dihadapkan pada permintaan tambahan biaya yang cukup besar oleh pihak manajemen. Ketika pemodal merasa kesulitan untuk memberikan dana tambahan tersebut, konflik pun timbul. Jika pemodal memutuskan untuk keluar dari akad kerja sama, tanah yang sudah memiliki bangunan mal di atasnya tidak bisa dikembalikan dengan mudah.
Kasus seperti ini merupakan contoh nyata dari jebakan akad syirkah. Baik melanjutkan maupun membatalkan akad, masyarakat pemodal tetap menghadapi kerugian. Mereka terjebak dalam kontrak yang sulit untuk ditinggalkan karena keterikatan hukum.
Untuk menghindari praktik-praktik yang merugikan seperti ini, penting untuk membangun kewaspadaan dalam bertransaksi. Salah satu masalah utama dalam kasus di atas adalah modal yang dikumpulkan dalam akad syirkah tidak berbentuk uang, melainkan barang atau aset. Hal ini menimbulkan risiko dan ketidakjelasan dalam pembagian kepemilikan serta tanggung jawab.
Solusi dari permasalahan ini adalah dengan mengembalikan akad syirkah pada prinsip percampuran modal yang lebih jelas dan adil. Jika terjadi penyimpangan dalam akad kerja sama, pihak yang menyebabkan kerugian wajib memberikan ganti rugi kepada pihak lain. Proses ini dapat dilakukan melalui akad syuf’ah (akuisisi aset) dengan harga sesuai dengan nilai pasar yang telah ditetapkan.
Jika pihak pengelola tidak mau membayar ganti rugi, kasus tersebut dapat dianggap sebagai ijarah fasidah (sewa-menyewa yang rusak). Dalam praktik ijarah, penyewa tidak diperbolehkan mendirikan bangunan permanen di atas lahan yang disewa. Jika hal tersebut sudah terjadi, maka pemilik aset berhak untuk meminta asetnya kembali atau mendapatkan kompensasi sesuai dengan nilai pasar.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum syariah dan akuntansi yang jelas, transaksi bisnis seperti kemitraan dapat dilakukan dengan lebih adil dan transparan. Kesadaran akan risiko dan tanggung jawab dalam setiap transaksi sangatlah penting untuk mencegah konflik dan kerugian di masa depan.